Awalnya
daku memulai hari ini seperti biasanya dan terasa biasa-biasa saja. Di
penghujung hari ini, ternyata daku menemukan rentetan peristiwa yang tampaknya
sederhana tetapi terasa luar biasa. Daku yakin ini bukan kebetulan, sebab
Allah ingin mengajarkan sesuatu kepadaku di dalam dinamika kehidupan ini.
Setelah selesai pelayanan pagi, seperti
biasanya daku menyapa jemaat dan menyediakan waktu bagi mereka yang mau
shering. Ada seseorang yang daku lihat tampaknya biasa-biasa saja, sedang
duduk sendirian. Daku dekati dia dan menyapanya dengan sapaan yang
seperti biasanya: “Ibu, bagaimana kabarmu hari ini?” Kemudian dia
berkata: “Kamu tahu apa yang terjadi tadi malam? Itu adalah puncak
kemarahanku dengan suamiku! Aku sudah tidak mampu lagi berpikir tentang
keluargaku! Perasaanku sudah mati dan harapanku sudah hilang!”
Tanpa daku minta, dia dengan sangat terbuka mensheringkan apa yang terjadi di
dalam keluarganya. Beberapa kali dia mengusap air matanya. Setelah
lebih dari 2 jam, akhirnya dia merasa cukup puas mengeluarkan beban hidup rumah
tangganya. Daku tidak berani berkomentar apa-apa karena memang daku tidak
tahu apa yang harus daku katakan kepadanya. Dalam hati daku berdoa:
“Tuhan Yesus, tolonglah dia!” Sejenak kami diam. Setelah beberapa
saat, entah kenapa hati ini terdorong untuk mengungkapkan sesuatu kepadanya:
“Ibu, daku tidak tahu harus berkata apa, sebab itu pasti sangat berat!
Tetapi daku melihat ada sebuah paradoks yang Allah kerjakan dari peristiwa tadi
malam itu.” Dengan wajah penasaran, dia bertanya: “Apa paradoks
itu?” Daku coba jelaskan dengan hati-hati: “Ibu, dahulu daku pernah beri
dorongan supaya kalian konseling, tetapi dirimu bilang bahwa suamimu gak akan
mungkin mau konseling. Tetapi bukankah melalui peristiwa tadi malam
justru suamimu yang akhirnya minta untuk konseling? Saat harapan pribadi kita
hancur total, saat itulah harapan Tuhan mulai dibangun!
Inilah kesempatan yang terbaik untuk mengajak suamimu konseling!” Dia
terdiam. Beberapa waktu kemudian daku melihat dari matanya ada secercah
harapan yg mulai menyala. Dia berkata: “Ya, akan kucoba. Terima
kasih pak Kris!” Kami bersalaman dan dia pergi meninggalkan gereja.
Sore harinya, daku datang ke
ibadah. Pembicara, tema, dan ayat firman Tuhan sama dengan ibadah
pagi. Tetapi khotbahnya ternyata berbeda. Khotbah ibadah pagi lebih
banyak konsep tentang pernikahan dan keluarga. Tetapi khotbah ibadah sore
lebih banyak contoh kasus di dalam pernikahan dan keluarga. Beberapa
jemaat yang daku jumpai setelah selesai ibadah merasa sangat diberkati.
Hatiku pun bersyukur kepada Allah yang telah mencurahkan berkat-Nya.
Setelah ganti baju, daku keliling kota Solo sambil mencari tempat makan
malam. Daku berhenti di sebuah warung yang sederhana dan memesan lele
bakar untuk makan malam. Beberapa saat kemudian, pesananku datang.
Ternyata ada 2 ekor lele bakar di dalam 1 piring. Dalam hati daku
berkata: “Tadi pagi dengerin orang shering pergumulan tentang pernikahan.
Sore ini dengerin khotbah tentang pernikahan. Sekarang ada 2 ekor lele di
dalam 1 piring. Wah gawat, jangan-jangan ini lele jantan dan betina yang
setelah menikah, mereka tertangkap manusia dan sekarang jadi menu makan
malamku. Kalau begicu, sepasang lele ini harus segera daku habiskan
supaya penderitaan mereka segera berakhir.”
Puas menikmati sepasang lele bakar, daku
lanjutkan keliling kota Solo. Kulihat kerumunan massa sedang melihat
sebuah pertunjukkan. Daku baru ingat kalau hari ini ada festival tari
selama 24 jam non-stop di sepanjang jalan utama kota Solo. Daku berhenti
dan sejenak menikmati festival tari tersebut. Kulihat seorang laki-laki
dan seorang perempuan sedang menari mengikuti dinamika music tradisional
Jawa. Tampak sepasang penari tersebut begitu harmonis, selaras dan
indah. Daku yakin mereka pasti sudah berlatih sangat keras dan
membutuhkan waktu yang lama untuk dapat menghasilkan sebuah pertunjukan tarian
yang mampu membuat banyak orang menikmati keindahannya. Tiba-tiba hatiku
berseru: “Inilah gambaran sederhana dari keindahan pernikahan!”
Di dalam festival tari, ada music yang penuh
dinamika. Kadang keras, kadang lembut. Kadang cepat, kadang
lambat. Seorang penari harus belajar keras untuk menyelaraskan gerakan
anggota tubuhnya dengan music tersebut supaya dapat menghasilan tarian yang
indah. Paling tidak ada 3 jenis tarian, yaitu: tunggal, berpasangan, dan
komunal. Tentu saja jenis tarian berpasangan jauh lebih sulit dibandingkan
dengan tarian tunggal. Kesulitan tersebut disebabkan penari harus dapat
menyelaraskan gerakannya dengan music, sekaligus dengan gerakan anggota
pasangannya. Bukankah di dalam hidup ini juga penuh dinamika?
Ketika masih bujang, kita harus belajar untuk menyelaraskan diri kita sendiri
dengan dinamika kehidupan. Ketika masuk di dalam pernikahan, maka kita
harus belajar untuk menyelaraskan diri kita sendiri dengan dinamika kehidupan,
sekaligus menyelaraskan diri kita dengan pasangan kita. Ketika kehadiran
anak-anak pun mengisi kehidupan pernikahan, maka dinamikanya pasti berbeda dan
harus ada proses menyelaraskan diri lagi. Kehidupan pernikahan bukanlah statis, tetapi
dinamis, seperti tarian yang terus bergerak dan berubah sesuai dengan music
yang mengiringinya.
Sebelum festival tari dipentaskan, maka
penari harus mempunyai komitment yang tinggi untuk berlatih dengan keras dan
membutuhkan waktu untuk dapat menghasilkan keindahan. Bukankah demikian
juga di dalam pernikahan, dibutuhkan komitment yang tinggi untuk dapat
menghasilkan kebahagiaan? Ada definisi pernikahan yang menurutku terbaik
dari yang pernah daku baca: “pernikahan
adalah komitmen tak bersyarat terhadap seorang pribadi yang tak sempurna!”
Oleh sebab itu, di
dalam kompleksitas dinamika kehidupan pernikahan, dibutuhkan komitmen seteguh
mungkin, iman sesederhana mungkin, jiwa sefleksibel mungkin, dan pengorbanan
yang sebesar mungkin. Itulah sebabnya Alkitab menunjukkan
bahwa relasi
suami-istri di dalam pernikahan harus merefleksikan kasih Kristus kepada
jemaat. Seberat apapun pergumulan di dalam pernikahan, kematian dan
kebangkitan Kristus memberikan jaminan yang pasti bahwa masih ada harapan.
Teruslah
menari hai suami-istri… ikutilah iramanya yang penuh arti… jangan pernah
berhenti… selama music itu masih berbunyi… maka kebahagiaan dan keindahan
memenuhi hati… sehingga orang lain pun diberkati oleh pancaran kasih Ilahi…
4 comments:
Ulasan yg menarik ^_^
Renungan yang sangat baik. Sip, kayaknya sudah siap ini penulisnya menikah... soalnya kelihatan sudah menjiwai betul dunia pernikahan
Renungan yang sangat baik. Sip, kayaknya sudah siap ini penulisnya menikah... soalnya kelihatan sudah menjiwai betul dunia pernikahan
hehehe...iculah uniknya dinamika kehidupan pak...baru sampai "menjiwai" :D
Post a Comment