Sunday, August 4, 2013

Kebinekaan: IndAH atau MasalAH?



Kumelangkah menyelusuri lorong menuju tempat mencuci dengan membawa seember penuh kain kotor.  Sekilas mataku memandang seorang teman dari negeri China karena pintu kamarnya terbuka lebar.  Kuhentikan langkahku untuk menatapnya dengan senyuman dan dia pun tersenyum serta memanggil namaku… “Mas Kris!”  Kuletakkan ember itu di depan pintu, lalu kumasuk ke kamarnya.  “Ni sedang membaca apa?” tanyaku.  Dengan tersenyum dia tunjukkan buku yang sedang ada di tangannya.  “Wah, ni sedang belajar bahasa Indonesia ya?  Good!” seruku.  Sesaat kami bercakap-cakap dengan bahasa Indonesia.  Tetapi karena dia masih belajar maka beberapa kalimat dalam percakapan itu kami ganti dengan bahasa Inggris.  Yah sekalipun bahasa Inggris kami belepotan.  Tak lama kemudian, daku ijin kepadanya untuk undur diri karena harus mencuci beberapa pakaian kotor.
          Ketika mencuci, daku teringat akan tindakanku yang bodoh.  Di waktu kerja bakti pagi, daku dan seorang teman China berdiskusi tanpa tema yang jelas, karena daku memakai bahasa Jawa sementara dia memakai bahasa Mandarin.  Spontan teman-teman dari Indonesia dan China yang melihat kami langsung tertawa.  Apakah itu indah atau masalah?  Bagiku itu adalah keindahan.  Kenapa?  Sekalipun kami tidak saling mengerti apa yang dibicarakan karena perbedaan bahasa, tetapi lihatlah hasilnya, teman-teman Indonesia dan China akhirnya dapat mempunyai bahasa yang sama, yaitu tertawa.  Seringkali tidak kita sadari bahwa tertawa, tersenyum, tangisan adalah bahasa komunikasi yang universal.  Hatiku semakin bersukacita ketika ingat beberapa teman China juga mau daku ajarin bahasa Jawa.  Bahkan lewat Oprah Van SAAT yang dipentaskan untuk menyambut mahasiswa baru 2010 di wisma YWI Batu dan Camp Pemuda SAAT 2010, mahasiswa dari Indonesia dan China menunjukkan kerjasama yang begitu indah sehingga semuanya puas.  Daku sangat merindukan kebersamaan itu.  Jadi kebhinekaan, keberagaman, dan keberbedaan itu indah atau masalah?
          Tetapi hatiku tiba-tiba merasa sangat sedih karena ingatanku membawa kepada apa yang terjadi pada Mei 1998.  Di Solo terjadi kerusuhan yang mengerikan, banyak rumah dan toko dibakar dan dijarah oleh beberapa kelompok massa, sementara itu aparat keamanan seakan-akan diam dan tak berusaha untuk menghentikan aksi kejahatan yang sungguh bejat itu.  Korban utama dari kerusuhan tersebut adalah saudara sebangsaku yang masih mempunyai ikatan darah keturunan China.  Mereka ada yang dibunuh, diperkosa, dan disiksa, sehingga meninggalkan trauma yang sangat mendalam.  Kenapa khusus mereka yang jadi korban?  Apa salah mereka?  Siapa dan apa motivasi otak kerusuhan tersebut?  Tetapi sampai sekarang kasus kerusuhan Mei 1998 seakan-akan menguap begitu saja.  Keadilan dan kebenaran tidak ditegakkan, undang-undang menjadi mandul, aparat penegak hukum masa bodoh, otak dan pelaku kerusuhan hidup bebas, tetapi sementara itu para korban masih terluka dan terpenjara jiwanya.  Apakah ini sudah biasa terjadi di negeriku tercinta ini, sehingga kejahatan kemanusiaan yang sedemikian besar dapat menguap begitu saja?
          Daku juga diingatkan akan beberapa peristiwa, antara lain: kerusuhan antara suku Dayak dan suku Madura di Kalimantan, usaha pembinasaan suku bangsa Yahudi oleh Nazi Jerman, pertentangan antara orang Yahudi dan orang Samaria atau juga dengan orang gentile.  Daku bertanya: “Apakah dari zaman ke zaman selalu kebhinekaan, keberagaman, dan keberbedaan pasti menjadi masalah?  Mengapa suku satu memandang rendah suku yang lain, yang berkulit putih memandang rendah yang berkulit hitam, yang kaya memandang rendah yang miskin, yang mendapat nilai bagus memandang rendah yang bernilai kurang, boss memandang rendah buruh,  tuan memandang rendah hamba, yang sehat memandang rendah yang cacat?  Bukankah kita adalah sama-sama manusia ciptaan Allah, sama-sama butuh oksigen dan air, sama-sama mendapat sinar matahari dan hujan, sama-sama tinggal di satu bumi, sama-sama mempunyai darah berwarna merah?”  Yah mungkin ini pertanyaan yang terlalu naïf dari seorang anak muda yang belum makan asam garam kehidupan.
          Sejenak daku ingat akan apa yang tertulis di Alkitab sebagai Firman Tuhan dan sumber kebenaran hidup.  Pada Lukas 10:29 ada pertanyaan: “Dan siapakah sesamaku manusia?”  Pertanyaan ini muncul dari motivasi seorang ahli Taurat yang ingin membenarkan dirinya di hadapan Yesus Kristus.  Sekalipun Yesus Kristus tahu motivasi seorang ahli Taurat tersebut, tetapi Dia dengan sabar memberikan jawaban melalui kisah seorang Samaria yang murah hati.  Kisah tersebut sangat bertentangan dengan budaya pada waktu itu, dimana orang Samaria yang dipandang rendah orang orang Yahudi justru melakukan apa yang berkenan di hati Tuhan, tetapi seorang imam dan seorang Lewi justru tidak menunjukkan belas kasihan.  Daku yakin semua orang percaya tahu akan kisah ini, tetapi seberapa jauh kita melakukannya?  Bukankah kisah ini ditutup dengan perkataan Yesus Kristus: “Pergilah dan perbuatlah demikian!”? (Luk. 10:33).  Jadi jelas bahwa pertanyaan: “Siapakah sesamaku manusia?” adalah pertanyaan yang bodoh, yang muncul dari motivasi yang salah.  Pertanyaan yang seharusnya kita lontarkan pada diri kita sendiri dan harus kita jawab dengan jujur di hadapan Tuhan adalah: “Sudahkah aku menjadi sesama manusia bagi semua orang?”
          Kebhinekaan, keberagaman, dan keberbedaan adalah kenyataan yang tidak dapat ditolak.  Siapakah yang dapat memilih untuk dilahirkan dengan warna kulit apa dan di suku apa?  Apakah kita dapat memilih dilahirkan di keluarga yang kaya, pandai, dan sehat?  Tidak ada satu pun yang dapat memilihnya!  Lalu siapakah yang menciptakan, menetapkan, dan mengijinkan kebhinekaan itu?  Allah Sang Pencipta!  Jadi jelas bahwa ketika kita menolak dan membenci kebhinekaan, maka sesungguhnya kita menghina Allah.  Kebhinekaan itu pasti, tetapi sikap kita pada kebhinekaan itu adalah pilihan.  Pilihan yang tepat terhadap kebhinekaan akan membawa kita pada keindahnnya.  Pilihan yang salah terhadap kebhinekaan akan membawa kita pada masalah.
          Di dalam imajinasi, daku berdiri ditengah-tengah kebun mawar yang berwarna-warni.  Di sebelah kananku mawar biru, di sebelah kiriku mawar merah, di depanku mawar putih, dan di belakangku mawar hitam.  Karena namaku “Kusuma” yang berarti “bunga” maka daku dapat mendengar percakapan mereka tentang siapakah yang lebih indah.  Masing-masing membanggakan dirinya dan akhirnya terjadilah pertengkaran yang hebat.  Karena daku merasa keheninganku di tengah kebun mawar itu terganggu, maka dengan keras daku teriak: “Diam!”  Spontan semua bunga mawar itu diam.  Daku bertanya dengan suara yang tegas: “Adakah diantara kalian yang tidak mempunyai duri?”  Bunga-bunga mawar itu pun satu per satu tertunduk malu, karena mereka semua mempunyai duri yang dapat menyakiti tangan manusia yang mengagumi keindahan mereka.  Dengan lembut kuberkata kepada mereka: “Sekalipun semua mawar mempunyai duri, tetapi Allah Sang Pencipta tetap mengasihimu dan manusia tetap mengagumi keindahanmu.”  Akhirnya mereka kembali ceria dan bernyanyi bagi kemuliaan Allah.
          Negeri kita Indonesia kaya akan kebhinekaan, maka negeri kita indah jika kebhinekaan itu dapat menjadi tunggal ika, tetapi negeri kita masalah jika kebhinekaan itu terpecah.  Gereja yang mengetahui kebenaran Firman Tuhan tentang kebhinekaan seharusnyalah menjadi kesaksian hidup yang nyata di negeri kita tercinta ini.  Daku sangat bersyukur ada gereja yang berasal dari suku satu tetapi mau menerima orang-orang dari suku yang lain untuk menjadi jemaatnya, bahkan mau dilayani dan melayani suku yang lain.  Tetapi jika kita jujur, masih cukup banyak gereja yang bersikap menerima kebhinekaan.  Pada tataran pemikiran mungkin tidak ada masalah dengan kebhinekaan, tetapi pada tataran praktisnya teryata masih jauh dari harapan untuk menjadi sesama bagi orang lain.  Jika demikian bagaimana gereja dapat menjadi garam dan terang di negeri kita tercinta ini?
          Bukankah Firman Allah menegaskan: “Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus” (Gal. 3:28)?  Bukankah Firman Allah juga memberikan dorongan: “Dan berusahalah memelihara kesatuan Roh oleh ikatan damai sejahtera: satu tubuh, dan satu Roh, sebagaimana kamu dipanggil kepada satu pengharapan yang terkandung dalam panggilanmu, satu Tuhan, satu iman, satu baptisan, satu Allah dan Bapa dari semua, Allah yang diatas semua dan oleh semua dan di dalam semua” (Ef. 4:3-6)?  Bukankah Firman Allah menunjukkan: “Sebab Ia yang menguduskan dan mereka yang dikuduskan, mereka semua berasal dari Satu; itulah sebabnya Ia tidak malu menyebut mereka saudara” (Ibr. 2:11)?  Bukankah Firman Tuhan juga mengingatkan: “Tetapi aku mensihatkan kamu, saudara-saudara, demi nama Tuhan kita Yesus Kristus, supaya kamu seia sekata dan jangan ada perpecahan di antara kamu, tetapi sebaliknya supaya kamu erat bersatu dan bersehati sepikir” (1Kor. 1:10)? Dan bukankah Firman Allah menunjukkan: “Dan di atas semuanya itu: kenakanlah kasih, sebagai pengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan” (Ef. 3:14)?

Mata yang sehat adalah mata yang dapat melihat keindahan warna-warni kehidupan.
Telinga yang sehat adalah telinga yang dapat mendengar keindahan nada-nada kehidupan.
Lidah yang sehat adalah lidah yang dapat mengecap keindahan rasa-rasa kehidupan.
Jiwa yang sehat adalah jiwa yang dapat menikmati keindahan kebhinekaan kehidupan.
Hanya kasih Kristus-lah yang menyehatkan kehidupan dan mempersatukan kebhinekaan.

Biarlah kebhinekaan bukan hanya dipersatukan di sorga kelak, tetapi juga di bumi kini!!!

0 comments:

Post a Comment