Kumelangkah
menyelusuri lorong menuju tempat mencuci dengan membawa seember penuh kain
kotor. Sekilas mataku memandang seorang teman dari negeri China karena
pintu kamarnya terbuka lebar. Kuhentikan langkahku untuk menatapnya
dengan senyuman dan dia pun tersenyum serta memanggil namaku… “Mas Kris!”
Kuletakkan ember itu di depan pintu, lalu kumasuk ke kamarnya. “Ni sedang
membaca apa?” tanyaku. Dengan tersenyum dia tunjukkan buku yang sedang
ada di tangannya. “Wah, ni sedang belajar bahasa Indonesia ya?
Good!” seruku. Sesaat kami bercakap-cakap dengan bahasa Indonesia.
Tetapi karena dia masih belajar maka beberapa kalimat dalam percakapan itu kami
ganti dengan bahasa Inggris. Yah sekalipun bahasa Inggris kami
belepotan. Tak lama kemudian, daku ijin kepadanya untuk undur diri karena
harus mencuci beberapa pakaian kotor.
Ketika mencuci, daku teringat akan
tindakanku yang bodoh. Di waktu kerja bakti pagi, daku dan seorang teman
China berdiskusi tanpa tema yang jelas, karena daku memakai bahasa Jawa
sementara dia memakai bahasa Mandarin. Spontan teman-teman dari Indonesia
dan China yang melihat kami langsung tertawa. Apakah itu indah atau
masalah? Bagiku itu adalah keindahan. Kenapa? Sekalipun kami
tidak saling mengerti apa yang dibicarakan karena perbedaan bahasa, tetapi
lihatlah hasilnya, teman-teman Indonesia dan China akhirnya dapat mempunyai
bahasa yang sama, yaitu tertawa. Seringkali tidak kita sadari bahwa
tertawa, tersenyum, tangisan adalah bahasa komunikasi yang universal.
Hatiku semakin bersukacita ketika ingat beberapa teman China juga mau daku
ajarin bahasa Jawa. Bahkan lewat Oprah Van SAAT yang dipentaskan untuk
menyambut mahasiswa baru 2010 di wisma YWI Batu dan Camp Pemuda SAAT 2010, mahasiswa
dari Indonesia dan China menunjukkan kerjasama yang begitu indah sehingga
semuanya puas. Daku sangat merindukan kebersamaan itu. Jadi
kebhinekaan, keberagaman, dan keberbedaan itu indah atau masalah?
Tetapi hatiku tiba-tiba merasa sangat sedih
karena ingatanku membawa kepada apa yang terjadi pada Mei 1998. Di Solo
terjadi kerusuhan yang mengerikan, banyak rumah dan toko dibakar dan dijarah
oleh beberapa kelompok massa, sementara itu aparat keamanan seakan-akan diam
dan tak berusaha untuk menghentikan aksi kejahatan yang sungguh bejat
itu. Korban utama dari kerusuhan tersebut adalah saudara sebangsaku yang
masih mempunyai ikatan darah keturunan China. Mereka ada yang dibunuh,
diperkosa, dan disiksa, sehingga meninggalkan trauma yang sangat
mendalam. Kenapa khusus mereka yang jadi korban? Apa salah
mereka? Siapa dan apa motivasi otak kerusuhan tersebut? Tetapi
sampai sekarang kasus kerusuhan Mei 1998 seakan-akan menguap begitu saja.
Keadilan dan kebenaran tidak ditegakkan, undang-undang menjadi mandul, aparat
penegak hukum masa bodoh, otak dan pelaku kerusuhan hidup bebas, tetapi
sementara itu para korban masih terluka dan terpenjara jiwanya. Apakah
ini sudah biasa terjadi di negeriku tercinta ini, sehingga kejahatan kemanusiaan
yang sedemikian besar dapat menguap begitu saja?
Daku juga diingatkan akan beberapa
peristiwa, antara lain: kerusuhan antara suku Dayak dan suku Madura di
Kalimantan, usaha pembinasaan suku bangsa Yahudi oleh Nazi Jerman, pertentangan
antara orang Yahudi dan orang Samaria atau juga dengan orang gentile.
Daku bertanya: “Apakah dari zaman ke zaman selalu kebhinekaan, keberagaman, dan
keberbedaan pasti menjadi masalah? Mengapa suku satu memandang rendah
suku yang lain, yang berkulit putih memandang rendah yang berkulit hitam, yang
kaya memandang rendah yang miskin, yang mendapat nilai bagus memandang rendah
yang bernilai kurang, boss memandang rendah buruh, tuan memandang rendah
hamba, yang sehat memandang rendah yang cacat? Bukankah kita adalah
sama-sama manusia ciptaan Allah, sama-sama butuh oksigen dan air, sama-sama
mendapat sinar matahari dan hujan, sama-sama tinggal di satu bumi, sama-sama
mempunyai darah berwarna merah?” Yah mungkin ini pertanyaan yang terlalu
naïf dari seorang anak muda yang belum makan asam garam kehidupan.
Sejenak daku ingat akan apa yang tertulis di
Alkitab sebagai Firman Tuhan dan sumber kebenaran hidup. Pada Lukas 10:29
ada pertanyaan: “Dan siapakah sesamaku manusia?” Pertanyaan ini muncul
dari motivasi seorang ahli Taurat yang ingin membenarkan dirinya di hadapan
Yesus Kristus. Sekalipun Yesus Kristus tahu motivasi seorang ahli Taurat
tersebut, tetapi Dia dengan sabar memberikan jawaban melalui kisah seorang
Samaria yang murah hati. Kisah tersebut sangat bertentangan dengan budaya
pada waktu itu, dimana orang Samaria yang dipandang rendah orang orang Yahudi
justru melakukan apa yang berkenan di hati Tuhan, tetapi seorang imam dan
seorang Lewi justru tidak menunjukkan belas kasihan. Daku yakin semua
orang percaya tahu akan kisah ini, tetapi seberapa jauh kita
melakukannya? Bukankah kisah ini ditutup dengan perkataan Yesus Kristus:
“Pergilah dan perbuatlah demikian!”? (Luk. 10:33). Jadi jelas bahwa pertanyaan: “Siapakah sesamaku
manusia?” adalah pertanyaan yang bodoh, yang muncul dari motivasi yang
salah. Pertanyaan yang seharusnya kita lontarkan pada diri kita sendiri
dan harus kita jawab dengan jujur di hadapan Tuhan adalah: “Sudahkah aku
menjadi sesama manusia bagi semua orang?”
Kebhinekaan, keberagaman, dan keberbedaan
adalah kenyataan yang tidak dapat ditolak. Siapakah yang dapat memilih
untuk dilahirkan dengan warna kulit apa dan di suku apa? Apakah kita
dapat memilih dilahirkan di keluarga yang kaya, pandai, dan sehat? Tidak
ada satu pun yang dapat memilihnya! Lalu siapakah yang menciptakan,
menetapkan, dan mengijinkan kebhinekaan itu? Allah Sang Pencipta!
Jadi jelas bahwa ketika kita menolak dan membenci kebhinekaan, maka sesungguhnya
kita menghina Allah. Kebhinekaan
itu pasti, tetapi sikap kita pada kebhinekaan itu adalah pilihan.
Pilihan yang tepat terhadap kebhinekaan akan membawa kita pada
keindahnnya. Pilihan yang salah terhadap kebhinekaan akan membawa kita
pada masalah.
Di dalam imajinasi, daku berdiri
ditengah-tengah kebun mawar yang berwarna-warni. Di sebelah kananku mawar
biru, di sebelah kiriku mawar merah, di depanku mawar putih, dan di belakangku
mawar hitam. Karena namaku “Kusuma” yang berarti “bunga” maka daku dapat
mendengar percakapan mereka tentang siapakah yang lebih indah.
Masing-masing membanggakan dirinya dan akhirnya terjadilah pertengkaran yang
hebat. Karena daku merasa keheninganku di tengah kebun mawar itu
terganggu, maka dengan keras daku teriak: “Diam!” Spontan semua bunga
mawar itu diam. Daku bertanya dengan suara yang tegas: “Adakah diantara
kalian yang tidak mempunyai duri?” Bunga-bunga mawar itu pun satu per
satu tertunduk malu, karena mereka semua mempunyai duri yang dapat menyakiti
tangan manusia yang mengagumi keindahan mereka. Dengan lembut kuberkata
kepada mereka: “Sekalipun semua mawar mempunyai duri, tetapi Allah Sang
Pencipta tetap mengasihimu dan manusia tetap mengagumi keindahanmu.”
Akhirnya mereka kembali ceria dan bernyanyi bagi kemuliaan Allah.
Negeri kita Indonesia kaya akan
kebhinekaan, maka negeri kita indah jika kebhinekaan itu dapat menjadi tunggal
ika, tetapi negeri kita masalah jika kebhinekaan itu terpecah. Gereja
yang mengetahui kebenaran Firman Tuhan tentang kebhinekaan seharusnyalah
menjadi kesaksian hidup yang nyata di negeri kita tercinta ini. Daku
sangat bersyukur ada gereja yang berasal dari suku satu tetapi mau menerima
orang-orang dari suku yang lain untuk menjadi jemaatnya, bahkan mau dilayani dan
melayani suku yang lain. Tetapi jika kita jujur, masih cukup banyak
gereja yang bersikap menerima kebhinekaan. Pada tataran pemikiran mungkin
tidak ada masalah dengan kebhinekaan, tetapi pada tataran praktisnya teryata
masih jauh dari harapan untuk menjadi sesama bagi orang lain. Jika
demikian bagaimana gereja dapat menjadi garam dan terang di negeri kita
tercinta ini?
Bukankah Firman Allah menegaskan: “Dalam
hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang
merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di
dalam Kristus Yesus” (Gal. 3:28)? Bukankah Firman Allah juga memberikan
dorongan: “Dan berusahalah memelihara kesatuan Roh oleh ikatan damai sejahtera:
satu tubuh, dan satu Roh, sebagaimana kamu dipanggil kepada satu pengharapan
yang terkandung dalam panggilanmu, satu Tuhan, satu iman, satu baptisan, satu
Allah dan Bapa dari semua, Allah yang diatas semua dan oleh semua dan di dalam
semua” (Ef. 4:3-6)? Bukankah Firman Allah menunjukkan: “Sebab Ia yang
menguduskan dan mereka yang dikuduskan, mereka semua berasal dari Satu; itulah
sebabnya Ia tidak malu menyebut mereka saudara” (Ibr. 2:11)? Bukankah
Firman Tuhan juga mengingatkan: “Tetapi aku mensihatkan kamu, saudara-saudara,
demi nama Tuhan kita Yesus Kristus, supaya kamu seia sekata dan jangan ada
perpecahan di antara kamu, tetapi sebaliknya supaya kamu erat bersatu dan
bersehati sepikir” (1Kor. 1:10)? Dan bukankah Firman Allah menunjukkan: “Dan di
atas semuanya itu: kenakanlah kasih, sebagai pengikat yang mempersatukan dan
menyempurnakan” (Ef. 3:14)?
Mata yang sehat adalah mata yang dapat melihat
keindahan warna-warni kehidupan.
Telinga yang sehat adalah telinga yang dapat
mendengar keindahan nada-nada kehidupan.
Lidah yang sehat adalah lidah yang dapat
mengecap keindahan rasa-rasa kehidupan.
Jiwa yang sehat adalah jiwa yang dapat
menikmati keindahan kebhinekaan kehidupan.
Hanya kasih Kristus-lah yang menyehatkan
kehidupan dan mempersatukan kebhinekaan.
Biarlah kebhinekaan bukan hanya
dipersatukan di sorga kelak, tetapi juga di bumi kini!!!
0 comments:
Post a Comment