Saturday, May 3, 2014

“Radiasi Nuklir-Kuasa Injil” di mata Fisika-Theologia



Jepang saat ini mengalami pergumulan yang sangat berat.  Tiga bencana besar terjadi secara beruntun, yaitu: gempa bumi, tsunami, dan bocornya reaktor nuklir.  Gempa bumi dan tsunami sudah reda, dan dalam waktu yang tidak begitu lama kemungkinan besar mereka bisa atasi.  Tetapi untuk kebocoran reaktor nuklir, mereka membutuhkan bantuan dari banyak pihak, karena dampak yang ditimbulkan sangatlah besar, dan membutuhkan waktu yang sangat lama.

Seberapa bahayakah nuklir tersebut?... Daku akan coba memberikan gambaran yang singkat dan sederhana.  Di dalam fisika, hal ini dibahas melalui Thermodinamika.

Berdasarkan medium rambatannya, Thermodinamika membaginya menjadi 3 jenis hantaran kalor/panas:
·         Konduksi: kalor/panas yang merambat melalui medium zat padat.
·         Konveksi: kalor/panas yang merambat melalui medium zat cair dan zat gas.
·         Radiasi: kalor/panas yang merambat tanpa melalui medium.

Radiasi ditimbulkan dari suatu unsur/materi yang mempunyai sifat radioaktif, misal saja yang sering kita dengar yaitu: uranium dan plutonium.  Unsur/materi yang mempunyai sifat radioaktif tersebut pasti mempunyai waktu paruh sangat lama, bahkan bisa ratusan tahun (waktu paruh adalah waktu yang dibutuhkan oleh sebuah unsur/materi untuk meluruh sampai setengah dari massa semula).  Karena sifatnya yang sangat aktif, maka ketika inti dari unsur tersebut ditembak oleh elektron, dampaknya sangat mudah sekali terjadi pembelahan inti.  Peristiwa pembelahan inti tersebut menghasilkan energi yang sangat besar.  Energi itulah yang dimanfaarkan manusia sesuai dengan kebutuhannya.  Energi tersebut dibawa oleh radiasi.  Itulah sebabnya radiasi mempunyai sifat antara lain:
·         Daya tembus yang sangat dalam. 
·         Daya hancur yang sangat hebat.
·         Daya sebar yang sangat luas.
·         Daya tahan yang sangat lama.

Berdasarkan sifat-sifat radiasi tersebut, maka tidaklah heran negara Jepang yang dulunya sangat kuat dan hebat dalam berperang, menyerah begitu saja kepada Amerika, setelah dijatuhi bom atom hanya dua kali saja.  Beberapa efek lain dari radiasi yaitu: menghancurkan virus kangker, mengakibatkan kemandulan, meningkatkan kualitas intan, mengakibatkan kanker kulit dan jaringan, dan bahkan membawa pada kematian.

Icu menurut fisika, lalu bagaimana menurut teologia?  Roma 1:16 “Sebab aku mempunyai keyakinan yang kokoh dalam Injil, karena Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang yang percaya, pertama-tama orang Yahudi, tetapi juga orang Yunani.”

Kekuatan atau dunamos mempunyai “sifat radioaktif” dan “energi yang sangat besar.”  Pada dasarnya “radiasi” Injil tidak membutuhkan “medium” apapun dan siapapun.  Tetapi “radiasi” Injil bisa melalui “medium” budaya dan manusia.  Paulus sangat yakin dan percaya bahwa “radiasi” Injil mempunyai sifat:
·         Daya tembus yang sangat dalam, pada hati dan jiwa.
·         Daya hancur yang sangat hebat, terhadap dosa.
·         Daya sebar yang sangat luas, bagi dunia.
·         Daya tahan yang sangat lama, sampai kekekalan.

Dengan mengingat sifat-sifat ”radiasi” Injil tersebut, maka seharusnyalah kita mempunyai keyakianan yang kokoh dan keberanian yang besar untuk menghadapi kuasa maut dan iblis.  Karena hanya di dalam Nama Yesus Kristus, maka ”Injil telah mematahkan kuasa maut dan mendatangkan hidup yang tidak dapat binasa” (2Tim. 1:10).  ”Radiasi” Injil juga berakibat: menghancurkan ”virus kangker” dosa, mengakibatkan ”kemandulan” kejahatan, meningkatkan ”kualitas intan” kekudusan, mengakibatkan ”kanker kulit dan jaringan” penyesatan, dan bahkan membawa pada kematian keinginan daging.  Dengan demikian kita berseru: ”Hai maut dimanakah kemenanganmu?  Hai maut dimanakah sengatmu?” (1Kor. 15:55).

Sudahkah kita mempunyai keyakinan yang kokoh dan keberanian yang besar, untuk memberitakan Injil pada semua orang dan mewujudnyatakan Injil di dalam setiap aspek kehidupan kita?  Ingatlah ”Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman!” (Mat. 28:20b).

Wednesday, April 2, 2014

Lihatlah... Sadarlah... Percayalah!


Ketika kulihat...
betapa luasnya ladang...
bertapa banyaknya jiwa...
betapa singkatnya waktu...
betapa rapuhnya tubuh...
betapa terbatasnya kapasitas...
betapa jahatnya dosa...
membuatku semakin sadar bahwa daku hanyalah...
hamba yang terlalu kecil, tetapi merasa diri yang terbesar...
hamba yang tak berguna, tetapi merasa diri yang sangat penting...
hamba yang penuh kesalahan, tetapi merasa diri yang paling benar...
kupandang salib-Nya... maka kupercaya...
betapa besar kasih-Nya...
betapa dahsyat kuasa-Nya...
betapa sempurna jalan-Nya
betapa mulia nama-Nya!
~ Roma 11:36

Friday, March 28, 2014

Karunia Ilahi+Kenikmatan Diri yang Terkendali = Kepuasan Sejati

Dari semula tubuh manusia dirancang sedemikian rupa sehingga memiliki sensasi-sensasi kenikmatan.  Ketika manusia melihat keindahan alam, mata merasakan kenikmatan.  Ketika manusia mencium wangi-wangian, hidung merasakan kenikmatan.  Ketika manusia mengecap makanan yang enak, lidah merasakan kenikmatan.  Ketika manusia mendengar suara yang merdu, telinga merasakan kenikmatan.  Demikian juga jiwa manusia, dari sejak semula telah dirancang sedemikian rupa sehingga memiliki sensasi kenikmatan.  Ketika manusia menjadi kaya raya, jiwa merasakan kenikmatan.  Ketika manusia menduduki jabatan tertinggi, jiwa merasakan kenikmatan.  Ketika manusia mencapai apa yang diharapkannya, jiwa merasakan kenikmatan. 
                   Pada dasarnya manusia tidak rela tubuh dan jiwanya kehilangan sensasi-sensasi kenikmatan tersebut.  Jika kenikmatan itu tertunda, maka tubuh dan jiwa manusia akan merasakan kelaparan dan kehausan.  Bahkan jika kenikmatan itu hilang dan lenyap, maka dapat dipastikan tubuh dan jiwa manusia akan merasakan penderitaaan yang sangat dalam.  Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan jika demi kenikmatan tubuh dan jiwa tetap dapat dirasakan selalu, manusia berusaha dengan menghalalkan segala cara.  Demi kenikmatan lidah, manusia menjadi rakus.  Demi kenikmatan seks, manusia berzinah.  Demi kenikmatan jiwa, manusia melakukan korupsi, memakai narkoba, dan bahkan membunuh.
                  Puncak dari segala kenikmatan itu disebut kepuasan.  Dorongan untuk berusaha mencapai kepuasan itu disebut hasrat.  Komitmen untuk berusaha mencapai kepuasan itu disebut tekat.
                  Tidak ada manusia yang dapat menandingi usaha mengejar kenikmatan dan kepuasan tubuh dan jiwanya selain daripada Pengkhotbah.  Lihatlah hasrat dan tekatnya untuk mencapai kepuasan:
  • Aku membulatkan hatiku untuk memeriksa dan menyelidiki dengan hikmat segala yang terjadi di bawah langit (1:3)
  • Aku telah memperbesar dan menambah hikmat lebih dari pada semua orang yang memerintah atas Yerusalem sebelum aku (1:16)
  • Aku telah membulatkan hati untuk memahami hikmat dan pengetahuan, kebodohan dan kebebalan (1:17)
  • Aku melakukan pekerjaan-pekerjaan besar (2:4)
  • Aku membeli budak-budak dan mempunyai banyak ternak melebihi siapapun yang pernah hidup di Yerusalem sebelum aku (2:7)
  • Aku mengumpulkan bagiku juga perak dan emas; serta banyak gundik (2:8)
  • Aku menjadi besar, bahkan lebih besar dari pada siapa pun yang pernah hidup di Yerusalem sebelum aku (2:9)
  • Aku tidak merintangi mataku dari apa pun yang dikehendakinya, dan aku tidak menahan hatiku dari sukacita apa pun (2:9)
Lalu apa kesimpulan Pengkhotbah?
                Ketika Pengkhotbah ingin menyampaikan hasil dari segala usahanya tersebut, semua mata manusia menatapnya, semua mulut manusia tertutup, dan semua tubuh manusia terdiam, menanti-nantikan jawaban dari Pengkhotbah.  Keheningan dan kesunyian memenuhi seluruh bumi.  Akhirnya Pengkhotbah pun berdiri dan membuka suaranya: “Kesia-siaan belaka, kata Pengkhotbah, kesia-siaan belaka, segala sesuatu adalah sia-sia!” (1:2).  Betapa terkejutnya seluruh manusia mendengar kesimpulan Pengkhotbah tersebut: Bagaimana mungkin segala sesuatu adalah sia-sia?  Mengapa segala sesuatu adalah sia-sia?  Sebagian manusia menangis dan meratap karena duka yang mendalam memenuhi tubuh dan jiwanya.  Tetapi sebagian manusia marah dan murka karena menolak kesimpulan Pengkhotbah.
                Memang benar bahwa dari semula tubuh dan jiwa manusia dirancang oleh Allah sedemikian rupa sehingga dapat merasakan sensasi-sensasi kenikmatan.  Tetapi bukan demi kenikmatan itu sendiri tujuan Allah menciptakan manusia.  Ada 3 realita yang harus disadari, diakui dan diterima oleh manusia:
  • Keterbatasan tubuh untuk merasakan kenikmatan.
  • Ketidakterbatasan jiwa untuk merasakan kenikmatan.
  • Keberdosaan manusia yang merusak kenikmatan.

                Realita kehidupan yang tidak akan pernah bisa ditolak oleh manusia adalah kemampuan tubuh untuk merasakan kenikmatan semakin lama semakin berkurang.  Mata semakin buta untuk menikmati alam yang indah.  Telinga semakin tuli untuk menikmati suara yang merdu.  Lidah semakin hambar untuk menikmati makanan yang enak.  Kemampuan tubuh untuk merasakan kenikmatan memang terbatas, tetapi jiwa tidak.  Benar apa yang dikatakan oleh Blaise Pascal, seorang fisikawan dan theolog: “Di dalam hati dan jiwa manusia terdapat lubang yang sangat lebar dan dalam, yang tidak akan pernah mampu dipenuhi/dipuaskan oleh apapun juga, selain dari kasih Allah!”  Sekalipun manusia memunyai begitu banyak harta, begitu besar kuasa, dan begitu tinggi pengetahuan, tetapi jiwanya tidak akan pernah dapat dipuaskan oleh itu semua.        Kesia-siaan menjadi jelas, tegas, dan pasti dialami oleh manusia karena keberdosaannya.  Dosa telah merubah arah dan merusak nilai kenikmatan manusia, sehingga segala sesuatu pasti menjadi sia-sia.
Jika demikian, apakah manusia tidak mungkin dapat merasakan kepuasan sejati?  Bagi manusia itu mustahil, tetapi bagi Allah tidak!
                Manusia yang pernah mengalami kepuasan sejati adalah Adam dan Hawa.  Sebelum jatuh ke dalam dosa, ada keharmonisan relasi mereka dengan Allah, diri, sesama, dan alam yang membuat mereka dapat merasakan sensasi-sensasi kenikmatan tubuh dan jiwa yang sungguh luar biasa.  Tetapi setelah jatuh ke dalam dosa, maka mereka tidak akan pernah dapat merasakan kepuasan yang sejati.  Hanya melalui kematian dan kebangkitan Kristus yang memberikan harapan dan jaminan pasti, maka manusia dapat kembali merasakan kepuasan yang sejati.
                Pengkhotbah juga memberikan catatan sangat jelas dan tegas bahwa tanpa Allah yang memberikan karunia kuasa kepada seseorang untuk menikmati segala kekayaan dan kemuliaan, maka itu semua adalah kesia-siaan dan penderitaan yang pahit (5:18-6:2).  Bahkan Pemazmur pun berseru: “Engkau memberitahukan kepadaku jalan kehidupan; di hadapan-Mu ada sukacita berlimpah-limpah, di tangan kanan-Mu ada nikmat senantiasa” (16:11).
                Ketika jiwa manusia dipuaskan oleh Allah, itu bukan berarti menghilangkan atau mematikan kenikmatan diri, tetapi memunculkan dan membuahkan pengendalian diri.  Sebab kenikmatan diri yang tidak terkendali adalah candu yang sia-sia. Itulah sebabnya John Piper berkata: “Untuk dapat sungguh-sungguh menikmati segala sesuatu, dibutuhkan pengendalian diri.”
                Tanda utama jiwa manusia yang telah dipuaskan oleh Allah adalah ia pasti menjadi berkat bagi sesamanya.  Karena kasih Allah yang memenuhi jiwa manusia itu melimpah dan meluap keluar, maka sesamanya pasti juga turut merasakannya.  Dengan demikian, semakin banyak orang memuliakan Allah yang telah memuaskan jika kita.  Itulah yang dimaksud John Piper: “Allah paling dimuliakan di dalam kita saat kita paling terpuaskan di dalam Dia.”
                Memang benar bahwa: Segala sesuatu adalah sia-sia, jika tanpa Allah!  Bersama Allah, maka segala sesuatu menjadi penuh makna!