Tuesday, June 25, 2013

Potret Kehidupan Rakyat Kecil di Indonesia



Waduh perutku kok lapar ya?... Wah gak terasa siapin pelayanan khotbah di pemuda sampai lupa makan nih!... Kumatikan laptop, kuambil jaket, dan kulangkahkan kaki keluar dari gereja... Kebetulan gereja di mana daku pelayanan praktek 1 tahun dekat dengan kompleks wisata kuliner Solo di waktu malam... Daku masuk ke subuah warung makan Gudeg dan kunikmati makan malam... gudeg sambel goreng, tahu bacem, paru goreng, dan teh panas... sambil mendengarkan sayup-sayup alunan siter dan nyanyien sinden... Makan malam 15 menit... sesuai dengan kebiasaan mahasiswa SAAT...
          Setelah selesai makan dan membayar, daku langkahkan kaki menuju gereja... Melalui jalan yang remang-remang, daku lihat seorang laki-laki dan wanita berjalan di depanku... “Bengi iki sepi yo pak!” (Malam ini sepi ya pak)... “Iyo bu, sing penting tetep disyukuri!”(Iya bu, yang penting tetap bersyukur)... Demikianlah percakapan singkat di antara mereka... Dari cara jalannya daku tahu usia mereka pasti sudah tua dan kelihatan capek setelah melakukan kegiatan... Seberkas lampu jalan menerangi mereka berdua... Dari situlah daku tahu bahwa mereka adalah pemain siter dan sinden yang tadi daku dengar suaranya sayup-sayup ketika makan malam...
          Mereka adalah salah satu dari sekian banyak seniman jalanan yang berjuang untuk mencari sesuap nasi di waktu malam hari... Sekalipun malam ini mereka hanya mendapat sedikit berkat, tetapi mereka masih mampu menikmatinya dengan ucapan syukur... Oh andaikan para pejabat dan pemimpin di negeri ini mempunyai hati yang bisa bersyukur, maka daku yakin mereka tidak akan korupsi, kemiskinan dientaskan, dan rakyat pun sejahtera... Ironisnya, tidak sedikit generasi muda calon penerus bangsa telah hidup di dalam ketidakpedulian terhadap kemiskinan, kebodohan, keadilan, dan kebenaran... Mereka berusaha memuaskan keinginan hati, mata, dan nafsu dirinya sendiri, tetapi yang dihasilkan adalah kesia-siaan belaka... Bagaimana dengan gereja?
Pengkhotbah berkata: “Ada satu kemalangan yang telah kulihat di bawah matahari, yang sangat menekan manusia: orang yang dikaruniai Allah kekayaan, harta benda dan kemuliaan, sehingga tidak kekurangan suatu pun yang diingininya, tetapi orang tidak dikaruniai kuasa oleh Allah untuk menikmatinya, melainkan orang lain yang menikmatinya!  Inilah kesia-siaan dan penderitaan yang pahit” (6:1-2).
Semoga kita menjadi orang yang dikaruniai kuasa oleh Allah untuk menikmati dan mensyukuri segala sesuatu di dalam kehidupan kita yang sementara ini... serta dimampukan untuk berbagi dengan sesama... amin!!!
Nyanyian syukur keluar dari hati yang paling dalam mampu menggetarkan hati dan jiwa yang mendengarnya!!

Thursday, June 20, 2013

Menjadi Hadiah yang Terbaik



Seberapa repotkah Saudara ketika akan memberi hadiah untuk “pribadi” yang paling Saudara kasihi?  Bagiku, mencari, memilih, dan mempersiapkan hadiah untuk “pribadi” yang paling dikasihi adalah salah satu kegiatan yang rumit untuk dipikirkan dan sulit untuk dilakukan.  Lebih rumit dan lebih sulit daripada memikirkan dan mengerjakan soal-soal Olimpiade Fisika.  Mengapa?  Karena hadiah tersebut melibatkan suatu harapan dari dua pribadi yang berbeda, yaitu harapan si pemberi dan harapan si penerima.  Ada harapan bahwa hadiah tersebut dapat mengungkapkan perasaan terdalam dari si pemberi.  Sekaligus ada harapan bahwa hadiah tersebut juga dapat membahagiakan dan memuaskan si penerima.  Untuk memenuhi harapan si pemberi dan harapan si penerima, maka dibutuhkan pertimbangan yang matang.  Apa hadiah yang tepat?  Dimana hadiah itu bisa diperoleh?  Kapan hadiah itu diberikan?  Bagaimana cara memberikan hadiah tersebut?  Dan masih banyak lagi pertanyaan yang harus digumulkan jawabannya.  Seberapa dalam kita mengenal diri kita sendiri dan mengenal “pribadi” yang paling kita kasihi, menentukan seberapa besar harapan yang akan terpenuhi melalui hadiah tersebut.  Si pemberi harus sungguh-sungguh mengenal perasaan apa yang terdalam di hatinya.  Si pemberi juga harus sungguh-sungguh mengenal apa yang paling bisa membahagiakan dan memuaskan “pribadi” yang paling dikasihinya. 
          Ketika kita ingin hadiah tersebut sungguh-sungguh istimewa dan berarti bagi “pribadi” yang paling kita kasihi, maka pasti kita akan rela menyediakan banyak waktu, pikiran, dan tenaga untuk mempersiapkannya.  Mata kita terus melihat-lihat, tangan kita terus memilah-milah, dan kaki kita terus melangkah dari satu tempat ke tempat yang lain, sementara itu pikiran, hati, dan jiwa kita terus menimbang-nimbang, sampai akhirnya kita menemukan hadiah yang paling tepat.  Setelah itu, kita juga menyediakan waktu untuk mengemas hadiah tersebut sedemikian rupa agar tampak lebih menarik sehingga semakin membahagiakan “pribadi” yang paling kita kasihi.  Bahkan kita juga akan menyediakan waktu untuk memikirkan kapan dan bagaimana cara kita memberikan hadiah tersebut sehingga “pribadi” yang kita kasihi pun merasa puas.
          Kalimat apa yang paling kita nantikan untuk kita dengar dari “pribadi” yang paling kita kasihi, setelah ia menerima hadiah tersebut?  Kalimat yang paling membahagiakan dan memuaskan bagi si pemberi adalah ketika si penerima berkata: “Sesungguhnya, dirimu adalah hadiah yang terbaik bagiku!”  Kalimat itu berarti bahwa si penerima bukan hanya bahagia dan puas terhadap hadiah tersebut, tetapi ia juga menjadikan si pemberi sebagai “pribadi” yang paling dikasihinya.  Kalimat itu juga berarti bahwa si pemberi bukan hanya berhasil mempersiapkan hadiah yang terbaik, tetapi juga berhasil menjadikan dirinya sendiri sebagai hadiah yang terbaik baik “pribadi” yang dikasihinya.  Berusaha mempersiapkan hadiah yang istimewa memang sulit dan penting, tetapi jauh lebih sulit dan lebih penting lagi adalah berusaha menjadikan diri kita sendiri sebagai hadiah yang terbaik bagi “pribadi” yang paling kita kasihi.
          Di dalam konteks relasi kita dengan Allah, sesungguhnya Allah telah memberikan “hadiah” yang teristimewa, termahal, dan terbaik bagi kita, yaitu Yesus Kristus.  Perasaan apa yang terdalam di hati Allah sebagai Pemberi?  “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini” (Yoh. 3:16).  Apa yang paling membahagiakan dan memuaskan bagi orang percaya sebagai penerima?  “tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal” (Yoh. 3:16).  “Hadiah” apa yang dapat mengungkapkan perasaan yang terdalam di hati Allah, sekaligus yang dapat membahagiakan dan memuaskan orang percaya? “Anak-Nya yang tunggal” (Yoh. 3:16).  Kalimat apa yang paling membahagiakan dan memuaskan Allah untuk Dia dengar dari orang percaya?  “Sesungguhnya, Engkau adalah Hadiah yang terbaik bagiku!”
          Di dalam konteks relasi kita dengan pasangan kita, sesungguhnya kita adalah si pemberi dan si penerima hadiah yang terbaik.  Sudahkan kita menjadi “hadiah” yang terbaik bagi pasangan kita?  Relakah kita mengorbankan waktu, pikiran, dan tenaga bagi pasangan kita?  Akankah pasangan kita merasa bahagia, istimewa, dan berarti?  Sudahkah kita berkata kepada pasangan kita: “Sesungguhnya, dirimu adalah hadiah yang terbaik bagiku!”

Monday, June 10, 2013

Antara Festival Tari dan Pernikahan

Awalnya daku memulai hari ini seperti biasanya dan terasa biasa-biasa saja.  Di penghujung hari ini, ternyata daku menemukan rentetan peristiwa yang tampaknya sederhana tetapi terasa luar biasa.  Daku yakin ini bukan kebetulan, sebab Allah ingin mengajarkan sesuatu kepadaku di dalam dinamika kehidupan ini.
          Setelah selesai pelayanan pagi, seperti biasanya daku menyapa jemaat dan menyediakan waktu bagi mereka yang mau shering.  Ada seseorang yang daku lihat tampaknya biasa-biasa saja, sedang duduk sendirian.  Daku dekati dia dan menyapanya dengan sapaan yang seperti biasanya: “Ibu, bagaimana kabarmu hari ini?”  Kemudian dia berkata: “Kamu tahu apa yang terjadi tadi malam?  Itu adalah puncak kemarahanku dengan suamiku!  Aku sudah tidak mampu lagi berpikir tentang keluargaku!  Perasaanku sudah mati dan harapanku sudah hilang!”  Tanpa daku minta, dia dengan sangat terbuka mensheringkan apa yang terjadi di dalam keluarganya.  Beberapa kali dia mengusap air matanya.  Setelah lebih dari 2 jam, akhirnya dia merasa cukup puas mengeluarkan beban hidup rumah tangganya.  Daku tidak berani berkomentar apa-apa karena memang daku tidak tahu apa yang harus daku katakan kepadanya.  Dalam hati daku berdoa: “Tuhan Yesus, tolonglah dia!”  Sejenak kami diam.  Setelah beberapa saat, entah kenapa hati ini terdorong untuk mengungkapkan sesuatu kepadanya: “Ibu, daku tidak tahu harus berkata apa, sebab itu pasti sangat berat!  Tetapi daku melihat ada sebuah paradoks yang Allah kerjakan dari peristiwa tadi malam itu.”  Dengan wajah penasaran, dia bertanya: “Apa paradoks itu?”  Daku coba jelaskan dengan hati-hati: “Ibu, dahulu daku pernah beri dorongan supaya kalian konseling, tetapi dirimu bilang bahwa suamimu gak akan mungkin mau konseling.  Tetapi bukankah melalui peristiwa tadi malam justru suamimu yang akhirnya minta untuk konseling?  Saat harapan pribadi kita hancur total, saat itulah harapan Tuhan mulai dibangun!  Inilah kesempatan yang terbaik untuk mengajak suamimu konseling!”  Dia terdiam.  Beberapa waktu kemudian daku melihat dari matanya ada secercah harapan yg mulai menyala.  Dia berkata: “Ya, akan kucoba.  Terima kasih pak Kris!”  Kami bersalaman dan dia pergi meninggalkan gereja.
          Sore harinya, daku datang ke ibadah.  Pembicara, tema, dan ayat firman Tuhan sama dengan ibadah pagi.  Tetapi khotbahnya ternyata berbeda.  Khotbah ibadah pagi lebih banyak konsep tentang pernikahan dan keluarga.  Tetapi khotbah ibadah sore lebih banyak contoh kasus di dalam pernikahan dan keluarga.  Beberapa jemaat yang daku jumpai setelah selesai ibadah merasa sangat diberkati.  Hatiku pun bersyukur kepada Allah yang telah mencurahkan berkat-Nya.  Setelah ganti baju, daku keliling kota Solo sambil mencari tempat makan malam.  Daku berhenti di sebuah warung yang sederhana dan memesan lele bakar untuk makan malam.  Beberapa saat kemudian, pesananku datang.  Ternyata ada 2 ekor lele bakar di dalam 1 piring.  Dalam hati daku berkata: “Tadi pagi dengerin orang shering pergumulan tentang pernikahan.  Sore ini dengerin khotbah tentang pernikahan.  Sekarang ada 2 ekor lele di dalam 1 piring.  Wah gawat, jangan-jangan ini lele jantan dan betina yang setelah menikah, mereka tertangkap manusia dan sekarang jadi menu makan malamku.  Kalau begicu, sepasang lele ini harus segera daku habiskan supaya penderitaan mereka segera berakhir.”
          Puas menikmati sepasang lele bakar, daku lanjutkan keliling kota Solo.  Kulihat kerumunan massa sedang melihat sebuah pertunjukkan.  Daku baru ingat kalau hari ini ada festival tari selama 24 jam non-stop di sepanjang jalan utama kota Solo.  Daku berhenti dan sejenak menikmati festival tari tersebut.  Kulihat seorang laki-laki dan seorang perempuan sedang menari mengikuti dinamika music tradisional Jawa.  Tampak sepasang penari tersebut begitu harmonis, selaras dan indah.  Daku yakin mereka pasti sudah berlatih sangat keras dan membutuhkan waktu yang lama untuk dapat menghasilkan sebuah pertunjukan tarian yang mampu membuat banyak orang menikmati keindahannya.  Tiba-tiba hatiku berseru: “Inilah gambaran sederhana dari keindahan pernikahan!”
          Di dalam festival tari, ada music yang penuh dinamika.  Kadang keras, kadang lembut.  Kadang cepat, kadang lambat.  Seorang penari harus belajar keras untuk menyelaraskan gerakan anggota tubuhnya dengan music tersebut supaya dapat menghasilan tarian yang indah.  Paling tidak ada 3 jenis tarian, yaitu: tunggal, berpasangan, dan komunal.  Tentu saja jenis tarian berpasangan jauh lebih sulit dibandingkan dengan tarian tunggal.  Kesulitan tersebut disebabkan penari harus dapat menyelaraskan gerakannya dengan music, sekaligus dengan gerakan anggota pasangannya.  Bukankah di dalam hidup ini juga penuh dinamika?  Ketika masih bujang, kita harus belajar untuk menyelaraskan diri kita sendiri dengan dinamika kehidupan.  Ketika masuk di dalam pernikahan, maka kita harus belajar untuk menyelaraskan diri kita sendiri dengan dinamika kehidupan, sekaligus menyelaraskan diri kita dengan pasangan kita.  Ketika kehadiran anak-anak pun mengisi kehidupan pernikahan, maka dinamikanya pasti berbeda dan harus ada proses menyelaraskan diri lagi.  Kehidupan pernikahan bukanlah statis, tetapi dinamis, seperti tarian yang terus bergerak dan berubah sesuai dengan music yang mengiringinya.
          Sebelum festival tari dipentaskan, maka penari harus mempunyai komitment yang tinggi untuk berlatih dengan keras dan membutuhkan waktu untuk dapat menghasilkan keindahan.  Bukankah demikian juga di dalam pernikahan, dibutuhkan komitment yang tinggi untuk dapat menghasilkan kebahagiaan?  Ada definisi pernikahan yang menurutku terbaik dari yang pernah daku baca: “pernikahan adalah komitmen tak bersyarat terhadap seorang pribadi yang tak sempurna!”  Oleh sebab itu, di dalam kompleksitas dinamika kehidupan pernikahan, dibutuhkan komitmen seteguh mungkin, iman sesederhana mungkin, jiwa sefleksibel mungkin, dan pengorbanan yang sebesar mungkin.  Itulah sebabnya Alkitab menunjukkan bahwa relasi suami-istri di dalam pernikahan harus merefleksikan kasih Kristus kepada jemaat.  Seberat apapun pergumulan di dalam pernikahan, kematian dan kebangkitan Kristus memberikan jaminan yang pasti bahwa masih ada harapan.
          Teruslah menari hai suami-istri… ikutilah iramanya yang penuh arti… jangan pernah berhenti… selama music itu masih berbunyi… maka kebahagiaan dan keindahan memenuhi hati… sehingga orang lain pun diberkati oleh pancaran kasih Ilahi…

Thursday, June 6, 2013

Apakah Kita Sungguh-sungguh Berani Berkata… ~ Mazmur 139:23-24

Selidikilah aku, ya Allah…
          Sementara itu masih ada banyak hal yang kita mau sembunyikan dari Dia… masih ada banyak pintu kehidupan yang kita tutup rapat-rapat supaya Dia tidak dapat masuk dan mengetahuinya!… Bukankah kita tahu bahwa tidak ada satu pun yang tersembunyi bagi Dia… karena Dia-lah yang menyelidiki hati (1Taw. 28:9; Ams. 20:27; Yer. 17:10; Rm. 8:27; 1Kor. 2:10)… dan yang mengetahu rahasia hati (Mzm. 44:22)?...

Dan kenalilah hatiku…
          Sementara itu kita masih tetap mau mengeraskan hati yang penuh dengan kemunafikan, kedengkian, dendam, amarah, iri hati, dan kesombongan!… Bukankah kita tahu bahwa Dia mengenal segala perbuatan dan rancangan manusia (Yes. 66:18)… Dia mengenal hati manusia (Kis. 15:8)… dan Dia akan memberikan hati yang baru, yang takut akan Tuhan, yang taat pada Firman Tuhan, yang tulus, lembut, murni dan penuh kasih (Yeh. 36:36)?...

Ujilah aku…
          Sementara itu kita masih tetap mau hidup berkompromi dengan dosa dan dunia… kita tidak mau mendengarkan dan melakukan kebenaran Firman Tuhan… bahkan kita berusaha lari sejauh mungkin dari penderitaan salib yang akan memurnikan kita!… Bukankah kita tahu bahwa Dia pasti menguji setiap orang dan memberikan upah menurut perbuatannya (Ayb. 23:10; Mzm. 7:10; Ams. 16:2; Yer. 9:7; 1Tes. 2:4; Why. 2:23)?...

Dan kenalilah pikiran-pikiranku…
          Sementara itu pikiran-pikiran kita masih dipenuhi dengan ketidakpercayaan akan kebenaran Firman Tuhan… penuh dengan rencana-rencana jahat… penuh dengan gambaran-gambaran kenajisan… pikiran-pikiran yang sempit, picik, sesat, dan sia-sia!… Bukankah kita tahu bahwa Dia ingin kita memiliki pikiran Kristus (1Kor. 2:16)… memikirkan apa yang dipikirkan Allah (Mrk. 8:33)… memikirkan semua yang benar, mulia, adil, suci, manis, dan sedap didengar (Flp. 4:33)… karena Dia-lah yang mengetahui segala pikiran kita (Mat. 9:4)?...

Lihatlah, apakah jalanku serong…
          Sementara itu kita masih tidak mau percaya dan berjalan di jalan yang telah ditunjukkan-Nya… tetapi kita masih mau tetap hidup di jalan orang berdosa, orang fasik, orang jahat, orang yang melakukan kekerasan, yang menuju kebinasaan!… Bukankah kita tahu bahwa jalan kita bukanlah jalan-Nya (Yes. 55:8-9)… Dia mengamat-amati jalan kita (Ayb. 31:4)… segala jalan kita terbuka di depan mata-Nya (Ams. 5:21)?...

Dan tuntunlah aku di jalan kekal!...
          Sementara itu tangan kita masih tidak mau dituntun oleh-Nya… mata kita tertuju pada keinginan kita sendiri… kaki kita melangkah berlawanan dengan kehendak-Nya!… Bukankah kita tahu bahwa segala jalan-Nya keadilan dan kebenaran (Ams. 8:20), sempurna (Mzm. 18:31), baik (1Raj. 8:36), kehidupan (Mzm. 16:11), penuh bahagia dan sejahtera (Ams. 3:17), dan lurus (Hos. 14:10)… Dia-lah yang membuat (Mzm. 18:33), merintis (Yes. 26:7), memberitahu (Mzm. 25:4), mengajarkan (Yes. 2:3), menuntun (Mzm. 23:3) kita di jalan-Nya… dan Dia-lah jalan itu sendiri (Yoh. 14:6)?...

Ketika lutut bertelut... kepala menunduk... mulut menyembah... bagaimana dengan hati kita?