Monday, June 3, 2013

Peran Firman dan Doa bagi Orang Percaya ditengah Pengaruh Zaman ~ Kejadian 16:1-6; 3:1-7; Markus 1:35-39; Lukas 4:1-13

Paling tidak ada tiga semangat yang sangat mempengaruhi manusia di segala zaman: semangat ingin serba cepat, semangat ingin serba mudah, dan semangat ingin serba murah.  Dengan perkembangan teknologi, seluruh alat transportasi dan komunikasi dapat dibuat semakin cepat.  Dengan teknologi pula maka kerja manusia semakin dipermudah.  Teknologi juga mampu memproduksi sesuatu dalam jumlah yang besar, maka tidaklah mengherankan jika harga sebuah produk semakin lama semakin murah.  Manusia satu dengan yang lain bersaing sangat keras ingin mendapatkan dan menghasilkan yang tercepat, termudah, dan termurah.  Bahkan manusia menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya tersebut.  Kalau sudah demikian, uang menjadi semakin berkuasa dan KKN pun menggurita.  Bukankah itu yang terjadi di dalam birokrasi di negara kita tercinta ini?  Dengan selogannya “kalau bisa dipersulit, kenapa harus dipermudah?” maka aksi suap pun terjadi supaya kepentingan pribadinya dapat dipercepat, dipermudah, dan dipermurah.  Hal ini membuktikan bahwa semangat ingin serba cepat, mudah, dan murah jika tidak ditempatkan pada porsi yang tepat akan mendatangkan dosa, pergumulan, dan penderitaan bagi pribadi maunpun bangsa ini.
          Ironisnya, semangat ingin serba cepat, mudah, dan murah juga telah mempengaruhi gereja (orang percaya).  Dalam relasinya dengan Tuhan, orang percaya juga ingin mendapatkan yang tercepat, termudah, dan termurah.  Orang percaya ingin doanya cepat dikabulkan, sehingga tidak perlu bertekun dalam doa dan bersabar dalam menanti jawaban Tuhan.  Orang percaya ingin hidupnya dipermudah, sehingga tidak ada pergumulan dan penderitaan jalan salib.  Orang percaya ingin harga pengorbanannya untuk menjadi murid Kristus dipermurah, sehingga tidak harus menyangkal diri dan mencurahkan darah.  Hal ini harus segera kita sadari dan akui supaya kita dipulihkan kembali oleh Sang Kepala Gereja.
          Abraham yang disebut sebagai bapa orang beriman pun pernah dipengaruhi oleh semangat zaman ingin serba cepat, mudah, dan murah.  Sebagai suami-istri yang sudah lama menikah berharap ingin cepat mempunyai anak itu wajar.  Tetapi harapan yang wajar belum tentu dapat tercapai.  Dorongan ingin cepat mempunyai anak semakin tinggi ketika usia mereka semakin tua, maka diambillah tindakan yang legal dan sah pada kebudayaan pada waktu itu, yaitu menjadikan Hagar, hamba Sarai, sebagai isteri Abram untuk melahirkan seorang anak bagi Abram dan Sarai.  Tetapi tindakan yang legal belum tentu sesuai dengan Firman Tuhan.  Itulah keputusan yang bersifat manusiawi tetapi tidak Ilahi.  Mengapa?  Karena mereka mengandalkan kekuatan manusia, bukan mengandalkan Allah.  Bagi mereka itulah cara yang paling cepat, mudah, dan murah.  Tetapi dampak dari keputusan mereka adalah dosa, pergumulan, dan penderitaan.  Abram dan Sarai bertengkar dan Sarai dipandang rendah oleh Hagar, sehingga ia menindas hambanya tersebut.  Sekalipun Abram tidak ikut menindas Hagar, tetapi sikapnya membiarkan Sarai menindas hambanya itu membuat Abram juga ikut bersalah di hadapan Tuhan. 
Sikap Abram yang hanya mendengarkan perkataan Sarai seperti sikap Adam yang hanya diam ketika melihat Hawa dicobai oleh ular.  Abram dan Adam sama-sama menyerahkan keputusan akhir di tangan istrinya.  Bukankah seharusnya suami lah yang berhak dan berkuasa sebagai pengambil keputusan terakhir?  Itulah sebabnya Efesus 5:22 berkata, “Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan.”  Firman ini menunjukkan dua hal.  Secara negatif, menunjukkan bahwa para isteri mempunyai kecenderungan ingin lebih dominan dari pada suaminya.  Secara positif, menunjukkan bahwa para suami butuh untuk dihormati dan dihargai sebagai kepala oleh isterinya.  Bagi para suami, Efesus 5:28 berkata, “Demikian juga suami harus mengasihi isterinya sama seperti tubuhnya sendiri: Siapa mengasihi isterinya mengasihi dirinya sendiri.”  Firman ini juga menunjukkan dua hal.  Secara negatif, menunjukkan bahwa para suami mempunyai kecenderungan lebih mengasihi dirinya sendiri dari pada isterinya.  Secara positif, menunjukkan bahwa para istri butuh untuk dirawat dan dikasihi oleh suaminya.
          Sumber penyebab kegagalan Abram dan Sarai sama seperti sumber penyebab kegagalan Adam dan Hawa, yaitu keraguan akan kebenaran firman Allah dan ketidakpercayaan kepada Allah.  Bukankah Allah telah berjanji dengan sangat jelas dan tegas bahwa Dia akan memberikan keturunan pada Abram?  Bahkan perjanjian tersebut ditandai dengan peristiwa yang luar biasa, “Ketika matahari telah terbenam, dan hari menjadi gelap, maka kelihatanlah perapian yang berasap beserta suluh yang berapi lewat di antara potongan-potongan daging itu” (Kej. 15:17).  Ini berarti Allah mengikat diri-Nya sendiri dalam perjanjian tersebut.  Bukankah Allah juga berfirman dengan jelas dan tegas bahwa “Semua pohon dalam taman ini boleh kaumakan buahnya dengan bebas, tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah kaumakan buahnya, sebab pada saat engkau memakannya, pastilah engkau mati” (Kej. 2:16)?  Sekalipun firman Tuhan sudah sangat jelas dan tegas, tetapi di dalam kehendak bebasnya, manusia dapat memilih dan bertanggung jawab atas pilihannya untuk taat kepada Allah atau tidak.
          Pilihan yang paling cepat, paling mudah, dan paling murah tidak selalu paling benar dan paling tepat.  Pertanyaannya adalah, “Bagaimana kita tetap bisa menentukan pilihan dengan tepat di tengah semangat zaman yang ingin serba cepat, mudah, dan murah ini?”  Tuhan Yesus Kristus memberikan teladan bagi orang percaya untuk menentukan segala pilihan di dalam kehidupan ini.  Segala pencobaan dari Iblis mampu dipatahkan oleh Yesus Kristus dengan firman Tuhan.  Firman Tuhan pasti tepat, benar, dan tidak bertentangan satu dengan yang lain.  Sekalipun Iblis mengutip firman Tuhan untuk membuat keraguan, tetapi Yesus Kristus tetap berpegang teguh pada kebenaran firman Tuhan.
          Setelah Yesus Kristus mengalahkan segala pencobaan di padang gurun, bukan berarti dia terbebas dari segala pengaruh zaman yang berusaha menggeser fokus kehidupan-Nya.  Suatu hari Yesus Kristus pergi ke rumah Simon dan Andreas untuk menyembuhkan ibu mertua Simon yang sakit demam (1:29-34).  Sesudah matahari terbenam, datanglah banyak orang yang sakit dan yang kerasukan setan ke rumah tersebut, dan Yesus Kristus menyembuhkan mereka.  Keesokan harinya, para murid berkata kepada Yesus Kristus, “Semua orang mencari Engkau” (1:37).  Siapakah mereka dan untuk apa mereka mencari Yesus Kristus?  Kemungkinan besar mereka adalah orang banyak yang mendengar bahwa Yesus Kristus berkuasa menyembuhkan segala penyakit, maka mereka mencari Dia supaya mereka juga disembuhkan.  Bagaimana respon Yesus Kristus?  Dia berkata, “Marilah kita pergi ke tempat lain, kekota-kota yang berdekatan, supaya di sana juga Aku memberitakan Injil, karena untuk itu Aku telah datang” (1:38). 
          Lho, kenapa Yesus Kristus bukannya pergi menyembuhkan mereka, tetapi malah pergi ke kota-kota lain untuk memberitakan Injil?  Kenapa Dia tidak mengabulkan harapan mereka?  Bukankah wajar jika orang sakit mengharapkan kesembuhan?  Apalagi ada Yesus Kristus yang dapat memberikan kesembuhan yang tercepat, termudah, dan termurah.  Tetapi ternyata, harapan yang wajar belum tentu dapat tercapai.  Yesus Kristus tetap memutuskan untuk pergi memberitakan Injil, “karena untuk itu Aku datang.”  Yesus Kristus datang untuk memberitakan Injil yang menyelamatkan, bukan hanya untuk memberi kesembuhan.  Dia tetap fokus pada tujuan kedatangan-Nya di dunia, dengan demikian tindakan dan keputusan-Nya tersebut benar dan tepat di hadapan Allah. 
          Apa yang menyebabkan Yesus Kristus tetap fokus pada tujuan kedatangan-Nya di dunia?  Markus 1:35 menunjukkan jawabannya, “Pagi-pagi benar, waktu hari masih gelap, Ia bangun dan pergi ke luar.  Ia pergi ke tempat yang sunyi dan berdoa di sana.”  Selain komitment-Nya kepada firman Tuhan,  di dalam sepanjang kehidupan Yesus Kristus selama di dunia ini kita bisa mengetahui dengan sangat jelas bahwa Dia tidak pernah lupa untuk berdoa.  Adam dan Hawa gagal karena tidak taat pada firman Tuhan dan tidak berdoa.  Abram dan Sarai gagal karena meragukan firman Tuhan dan tidak berdoa.  Para rasul merasa tidak puas karena tidak dapat “memusatkan pikiran dalam doa dan pelayanan Firman” (Kis. 6:2-4).
          Berdoa itu bukan untuk memenuhi harapan kita, tetapi harapan Allah.  Berdoa itu bukan meminta kehendak kita, tetapi mencari kehendak Allah.  Itulah sebabnya kita berdoa, “jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di sorga” (Mat. 6:10).  Berdoa adalah menyelaraskan diri kita kepada Tuhan, dimana harapan akan dimurnikan, keputusan akan diarahkan, dan tindakan akan dibenarkan, sehingga nama Tuhan dimuliakan.  Yeremia 17:7 “Diberkatilah orang yang mengandalkan Tuhan, yang menaruh harapannya pada Tuhan.”  Oleh sebab itu, taatilah firman Tuhan dan tetaplah berdoa ditengah pengaruh zaman.
Berdoa pasti tidak mengubah Allah, belum tentu mengubah keadaan, tetapi pasti mengubah diri kita!

0 comments:

Post a Comment