Paling
tidak ada tiga semangat yang sangat mempengaruhi manusia di segala zaman: semangat ingin serba cepat,
semangat ingin serba mudah, dan semangat ingin serba murah.
Dengan perkembangan teknologi, seluruh alat transportasi dan komunikasi dapat
dibuat semakin cepat. Dengan teknologi pula maka kerja manusia semakin
dipermudah. Teknologi juga mampu memproduksi sesuatu dalam jumlah yang
besar, maka tidaklah mengherankan jika harga sebuah produk semakin lama semakin
murah. Manusia satu dengan yang lain bersaing sangat keras ingin
mendapatkan dan menghasilkan yang tercepat, termudah, dan termurah.
Bahkan manusia menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya
tersebut. Kalau sudah demikian, uang menjadi semakin berkuasa dan KKN pun
menggurita. Bukankah itu yang terjadi di dalam birokrasi di negara kita
tercinta ini? Dengan selogannya “kalau bisa dipersulit, kenapa harus
dipermudah?” maka aksi suap pun terjadi supaya kepentingan pribadinya dapat
dipercepat, dipermudah, dan dipermurah. Hal ini membuktikan bahwa semangat ingin serba cepat,
mudah, dan murah jika tidak ditempatkan pada porsi yang tepat akan mendatangkan
dosa, pergumulan, dan penderitaan bagi pribadi maunpun bangsa
ini.
Ironisnya, semangat ingin serba cepat,
mudah, dan murah juga telah mempengaruhi gereja (orang percaya). Dalam
relasinya dengan Tuhan, orang percaya juga ingin mendapatkan yang tercepat,
termudah, dan termurah. Orang percaya ingin doanya cepat dikabulkan,
sehingga tidak perlu bertekun dalam doa dan bersabar dalam menanti jawaban
Tuhan. Orang percaya ingin hidupnya dipermudah, sehingga tidak ada
pergumulan dan penderitaan jalan salib. Orang percaya ingin harga
pengorbanannya untuk menjadi murid Kristus dipermurah, sehingga tidak harus
menyangkal diri dan mencurahkan darah. Hal ini harus segera kita sadari
dan akui supaya kita dipulihkan kembali oleh Sang Kepala Gereja.
Abraham yang disebut sebagai bapa orang
beriman pun pernah dipengaruhi oleh semangat zaman ingin serba cepat, mudah,
dan murah. Sebagai suami-istri yang sudah lama menikah berharap ingin
cepat mempunyai anak itu wajar. Tetapi harapan yang wajar belum tentu dapat tercapai.
Dorongan ingin cepat mempunyai anak semakin tinggi ketika usia mereka semakin
tua, maka diambillah tindakan yang legal dan sah pada kebudayaan pada waktu
itu, yaitu menjadikan Hagar, hamba Sarai, sebagai isteri Abram untuk melahirkan
seorang anak bagi Abram dan Sarai. Tetapi tindakan yang legal belum tentu sesuai dengan
Firman Tuhan. Itulah keputusan yang bersifat manusiawi tetapi tidak
Ilahi. Mengapa? Karena mereka mengandalkan kekuatan manusia,
bukan mengandalkan Allah. Bagi mereka itulah cara yang
paling cepat, mudah, dan murah. Tetapi dampak dari keputusan mereka
adalah dosa, pergumulan, dan penderitaan. Abram dan Sarai bertengkar dan
Sarai dipandang rendah oleh Hagar, sehingga ia menindas hambanya
tersebut. Sekalipun Abram tidak ikut menindas Hagar, tetapi sikapnya
membiarkan Sarai menindas hambanya itu membuat Abram juga ikut bersalah di
hadapan Tuhan.
Sikap
Abram yang hanya mendengarkan perkataan Sarai seperti sikap Adam yang hanya
diam ketika melihat Hawa dicobai oleh ular. Abram dan Adam sama-sama
menyerahkan keputusan akhir di tangan istrinya. Bukankah seharusnya suami
lah yang berhak dan berkuasa sebagai pengambil keputusan terakhir? Itulah
sebabnya Efesus 5:22 berkata, “Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti
kepada Tuhan.” Firman ini menunjukkan dua hal. Secara negatif,
menunjukkan bahwa para isteri mempunyai kecenderungan ingin lebih dominan dari
pada suaminya. Secara positif, menunjukkan bahwa para suami butuh untuk
dihormati dan dihargai sebagai kepala oleh isterinya. Bagi para suami,
Efesus 5:28 berkata, “Demikian juga suami harus mengasihi isterinya sama
seperti tubuhnya sendiri: Siapa mengasihi isterinya mengasihi dirinya
sendiri.” Firman ini juga menunjukkan dua hal. Secara negatif,
menunjukkan bahwa para suami mempunyai kecenderungan lebih mengasihi dirinya
sendiri dari pada isterinya. Secara positif, menunjukkan bahwa para istri
butuh untuk dirawat dan dikasihi oleh suaminya.
Sumber penyebab kegagalan Abram dan Sarai
sama seperti sumber penyebab kegagalan Adam dan Hawa, yaitu keraguan akan
kebenaran firman Allah dan ketidakpercayaan kepada Allah. Bukankah Allah
telah berjanji dengan sangat jelas dan tegas bahwa Dia akan memberikan
keturunan pada Abram? Bahkan perjanjian tersebut ditandai dengan
peristiwa yang luar biasa, “Ketika matahari telah terbenam, dan hari menjadi
gelap, maka kelihatanlah perapian yang berasap beserta suluh yang berapi lewat
di antara potongan-potongan daging itu” (Kej. 15:17). Ini berarti Allah
mengikat diri-Nya sendiri dalam perjanjian tersebut. Bukankah Allah juga
berfirman dengan jelas dan tegas bahwa “Semua pohon dalam taman ini boleh
kaumakan buahnya dengan bebas, tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan
yang jahat itu, janganlah kaumakan buahnya, sebab pada saat engkau memakannya,
pastilah engkau mati” (Kej. 2:16)? Sekalipun firman Tuhan sudah sangat
jelas dan tegas, tetapi di dalam kehendak bebasnya, manusia dapat memilih dan
bertanggung jawab atas pilihannya untuk taat kepada Allah atau tidak.
Pilihan yang paling cepat,
paling mudah, dan paling murah tidak selalu paling benar dan paling tepat.
Pertanyaannya adalah, “Bagaimana kita tetap bisa menentukan pilihan dengan
tepat di tengah semangat zaman yang ingin serba cepat, mudah, dan murah
ini?” Tuhan Yesus Kristus memberikan teladan bagi orang percaya untuk
menentukan segala pilihan di dalam kehidupan ini. Segala pencobaan dari
Iblis mampu dipatahkan oleh Yesus Kristus dengan firman Tuhan. Firman
Tuhan pasti tepat, benar, dan tidak bertentangan satu dengan yang lain. Sekalipun
Iblis mengutip firman Tuhan untuk membuat keraguan, tetapi Yesus Kristus tetap
berpegang teguh pada kebenaran firman Tuhan.
Setelah Yesus Kristus mengalahkan segala
pencobaan di padang gurun, bukan berarti dia terbebas dari segala pengaruh
zaman yang berusaha menggeser fokus kehidupan-Nya. Suatu hari Yesus
Kristus pergi ke rumah Simon dan Andreas untuk menyembuhkan ibu mertua Simon
yang sakit demam (1:29-34). Sesudah matahari terbenam, datanglah banyak
orang yang sakit dan yang kerasukan setan ke rumah tersebut, dan Yesus Kristus
menyembuhkan mereka. Keesokan harinya, para murid berkata kepada Yesus
Kristus, “Semua orang mencari Engkau” (1:37). Siapakah mereka dan untuk
apa mereka mencari Yesus Kristus? Kemungkinan besar mereka adalah orang
banyak yang mendengar bahwa Yesus Kristus berkuasa menyembuhkan segala
penyakit, maka mereka mencari Dia supaya mereka juga disembuhkan.
Bagaimana respon Yesus Kristus? Dia berkata, “Marilah kita pergi ke
tempat lain, kekota-kota yang berdekatan, supaya di sana juga Aku memberitakan
Injil, karena untuk itu Aku telah datang” (1:38).
Lho, kenapa Yesus Kristus
bukannya pergi menyembuhkan mereka, tetapi malah pergi ke kota-kota lain untuk
memberitakan Injil? Kenapa Dia tidak mengabulkan harapan mereka?
Bukankah wajar jika orang sakit mengharapkan kesembuhan? Apalagi ada
Yesus Kristus yang dapat memberikan kesembuhan yang tercepat, termudah, dan
termurah. Tetapi ternyata, harapan yang wajar belum tentu dapat
tercapai. Yesus Kristus tetap memutuskan untuk pergi memberitakan Injil,
“karena untuk itu Aku datang.” Yesus Kristus datang untuk memberitakan
Injil yang menyelamatkan, bukan hanya untuk memberi kesembuhan. Dia tetap
fokus pada tujuan kedatangan-Nya di dunia, dengan demikian tindakan dan keputusan-Nya
tersebut benar dan tepat di hadapan Allah.
Apa yang menyebabkan Yesus
Kristus tetap fokus pada tujuan kedatangan-Nya di dunia? Markus 1:35
menunjukkan jawabannya, “Pagi-pagi benar, waktu hari masih gelap, Ia bangun dan
pergi ke luar. Ia pergi ke tempat yang sunyi dan berdoa di sana.”
Selain komitment-Nya kepada firman Tuhan, di dalam sepanjang kehidupan
Yesus Kristus selama di dunia ini kita bisa mengetahui dengan sangat jelas
bahwa Dia tidak pernah lupa untuk berdoa. Adam dan Hawa gagal karena
tidak taat pada firman Tuhan dan tidak berdoa. Abram dan Sarai gagal
karena meragukan firman Tuhan dan tidak berdoa. Para rasul merasa tidak
puas karena tidak dapat “memusatkan pikiran dalam doa dan pelayanan Firman” (Kis.
6:2-4).
Berdoa itu bukan untuk memenuhi
harapan kita, tetapi harapan Allah. Berdoa itu bukan meminta kehendak
kita, tetapi mencari kehendak Allah. Itulah
sebabnya kita berdoa, “jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di sorga” (Mat.
6:10). Berdoa
adalah menyelaraskan diri kita kepada Tuhan, dimana harapan akan dimurnikan,
keputusan akan diarahkan, dan tindakan akan dibenarkan, sehingga nama Tuhan
dimuliakan. Yeremia 17:7 “Diberkatilah orang yang
mengandalkan Tuhan, yang menaruh harapannya pada Tuhan.” Oleh sebab itu, taatilah firman Tuhan dan
tetaplah berdoa ditengah pengaruh zaman.
Berdoa pasti tidak mengubah
Allah, belum tentu mengubah keadaan, tetapi pasti mengubah diri kita!
0 comments:
Post a Comment