Titik acuan kita sebagai orang Kristen adalah Yesus Kristus!... Dinamika kehidupan kita yang penuh dengan paradoks terjadi supaya kita semakin serupa dengan Dia! (Rm. 8:28-29).
Oleh sebab itu…
- Lihatlah Dia (Yoh. 1:29, 36).
- Dengarkanlah Dia (Mat. 17:5).
- Ikutlah Dia (Yoh. 12:26).
- Teladanilah Dia (Yoh. 13:15).
- Percayalah pada Dia (Yoh. 14:1).
- Pikirkanlah dan rasakanlah Dia (Fil. 2:5).
- Hiduplah dan matilah bagi Dia (Fil. 1:20-21).
- Taatilah Dia (1Ptr. 1:2).
- Sembahlah Dia (Why. 14:7).
Coba bayangkan…
Ketika kita ada di dalam sebuah mobil yang sedang
berhenti di suatu jalan tanjakan, tiba-tiba mobil lain yang ada di sebelah kita
bergerak maju-naik. Apa yang kita rasakan?...
Ya benar!... Kita cenderung mengira bahwa mobil yang
kita naiki sedang bergerak mundur-turun dengan nilai kecepatan yang sama besar
dengan mobil lain tersebut. Tidak heran jika reaksi kita panik, lalu
spontan menginjak rem. Itulah yang disebut gerak relative.
Jadi tanpa titik acuan yang tepat maka kita akan salah
dalam menentukan kebenaran kenyataan apa yang sedang terjadi, bahkan
memunculkan reaksi yang sia-sia.
Bukankah manusia jatuh dalam dosa karena salah dalam
menentukan titik acuannya?...
Manusia lebih memilih mendengar kata-kata iblis
daripada kebenaran Firman Tuhan!... Manusia lebih memilih melakukan kehendak
dirinya daripada kehendak Allah!... Manusia menggeser dan mengganti titik acuan
hidupnya dari Allah menjadi dirinya sendiri!...
Kontra dari “menjadi serupa dengan Dia” adalah
“menjadi serupa dengan dunia” (Rm. 12:2).
Bercermin dari pencobaan Yesus Kristus di padang
gurun, Henri Nouwen dalam bukunya The Selfless Way of Christ
membahasakan pencobaan untuk menjadi serupa dengan dunia dalam tiga bentuk:
v Godaan untuk menjadi
relevan.
v Godaan untuk menjadi orang
yang mengagumkan.
v Godaan untuk menjadi orang
yang berkuasa.
Dinamika kehidupan untuk menjadi semakin serupa dengan
Dia penuh dengan paradoks:
- Di dalam Yesus Kristus terdapat kepenuhan Allah (Kol. 1:19; 2:9), tetapi Dia mengosongkan diri-Nya sendiri (Flp. 2:7).
- Yesus Kristus merendahkan diri-Nya menjadi hamba dan taat sampai mati, tetapi Allah sangat meninggikan Dia (Flp. 2:8-9).
- Dia adalah Raja segala raja rela menjadi hamba yang hina dan penuh penderitaan.
- Dia adalah Hakim Agung Yang Mahabenar dan Mahaadil, rela dihakimi oleh manusia yang penuh kesalahan dan ketidakadilan.
- Dia adalah Sang Sumber Hidup, rela mengalami penderitaan dan kematian.
- Dia adalah Sang Air Hidup, rela mengalami kehausan.
- Dia adalah Sang Terang dunia, rela mengalami kegelapan.
- Dia adalah Sang Roti Hidup, rela mengalami kelaparan.
- Dia Yang Mahakudus, rela dijadikan berdosa.
- Ketika kita semakin dekat dengan Allah Yang Mahakudus, maka kita semakin peka dan menyadari akan keberdosaan diri dan dunia.
- Ketika kita semakin dekat dengan Allah Yang Mahakuasa, maka kita semakin peka dan menyadari akan ketidakberdayaan diri dan dunia.
- Ketika kita semakin dekat dengan Allah Yang Mahasempurna, maka kita semakin peka dan menyadari akan kebodohan diri dan dunia.
Dengan kepekaan dan kesadaran yang demikian, maka kita
akan dapat menentukan kebenaran bahwa:
- Dia adalah Sang Pencipta, sementara itu kita adalah ciptaan-Nya.
- Kita adalah hina dan mulia.
- Kita dan sesama adalah sama di hadapan-Nya, sama-sama membutuhkan kasih dan anugerah-Nya.
Dengan demikian maka reaksi dan sikap kita pun akan
benar dan tepat:
- Sujud menyembah-Nya dan mempermuliakan Nama-Nya.
- Hidup sesuai dengan keunikan dan peran kita di dalam rencana-Nya.
- Saling mengasihi satu dengan yang lain sebagai sesama.
Semakin dewasa pertumbuhan jasmani seseorang, maka
kebergantungan kepada orangtua semakin berkurang!
Semakin dewasa pertumbuhan rohani seseorang, maka
kebergantungan kepada Allah semakin bertambah!
So… di dalam dunia yang penuh dengan kontradiksi
ini, mari kita tentukan titik acuan dengan baik, benar, dan tepat… maka kita
akan dapat menikmati keindahan dan kepuasan yang sejati dari paradoks kehidupan
untuk semakin serupa dengan Dia!
0 comments:
Post a Comment