Selama perjalanan dari kampus ke bandara,
daku sangat menikmati percakapan yang penuh imajinatif dengan ketiga anak kecil
yang lucu-lucu sehingga perjalanan yang hampir satu jam terasa 10 menit
saja. Kami tertawa dan bercanda bersama.
Setibanya di bandara, anak pertama dan
kedua langsung keluar dari mobil dan berlari melihat pemandangan.
Sementara itu, kulihat ibu menggendong anaknya yang paling kecil yang sedang
tertidur. Segera daku berlari menyusul kedua anak kecil tersebut untuk
menjaga mereka. Kami pun melanjutkan percakapan yang imajinatif, mulai
dari makanan yang paling disukai sampai layang-layang yang diikatkan pada sayap
pesawat terbang… he3!
Beberapa waktu kemudian, kulihat sebuah
pesawat mendarat. Spontan daku ajak kedua anak kecil itu untuk melihat
tempat di mana pesawat itu menurunkan penumpangnya. “Ayo kita lihat mana
papa!” ajakku. Anak pertama sibuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan ini
dan itu, sementara anak kedua terdiam dan terpaku melihat para penumpang yang
mulai turun, seakan dia bertanya, “Mana papaku?” Dia yang pemalu akhirnya
tiba-tiba berani memegang tanganku. Kulihat wajahnya yang cantik dan
kurasakan getaran tangannya yang mungil. Daku tahu bahwa ada rasa cemas
karena orang banyak di sekitarnya, sementara itu ada rasa rindu yang sangat
dalam pada papanya. Tiba-tiba dia berteriak, “PAPA! PAPA!”
Dia melambaikan tangannya, sementara tangan satunya memegang tanganku
erat. Daku dan kokonya bertanya dengan penasaran, “Mana papa?”
Jarinya yang mungil menunjuk ke seorang laki-laki yang sedang tersenyum dan
melambaikan tangannya. “Iya benar, itu papa!” seruku. Kokonya
bertanya, “Mana Om, kok gak kelihatan?” “Yah, sudah masuk ruangan
deh! Ayo kita jemput da ruang tunggu saja” ajakku.
Koko langsung berlari menuju pintu masuk
penumpang. “Koko, itu pintu masuk. Papa keluar dari pintu yang
sebelah sana!” seruku. Tanpa berkata apa-apa, dia langsung berlari
melewati banyak orang menuju pintu keluar penumpang. Sementara itu
adiknya mulai meregangkan pegangan tangannya, tanda bahwa dia juga ingin
berlari menyusul kokonya. Tetapi setelah melihat orang banyak, dia pun
kembali memegang dengan erat tanganku. Daku tahu bagaimana perasaannya,
maka daku ajak dia berlari kecil untuk menyusul kokonya. Kulihat kokonya
sudah berada tepat di pinggir pintu keluar penumpang, sementara kami berdiri
agak jauh karena banyaknya orang. Begitu papanya keluar, mereka berdua
berteriak, “PAPA!” Kokonya langsung memeluk papanya, sementara itu
kembali kurasakan kembali dari genggaman tangan mungil rasa rindu pada papa
yang terhalang dengan kecemasan karena orang banyak. Begitu papanya sudah
semakin dekat, maka dia berani melepaskan genggamannya dari tanganku dan
memeluk papanya. Oh terlalu indah untuk diceritakan dan diungkapkan lewat
kata-kata.
Ketika kami sampai di mobil, anaknya yang
paling kecil terbangun dan langsung berteriak, “PAPA!” sambil menangis
rindu. Kulihat juga sorotan mata seorang istri yang merindukan suami
tercintanya. Lengkap sudah keindahan sore itu. Segera setelah semua
barang masuk ke mobil, kami pun pulang dengan bahagia.
Di dalam perjalanan pulang, anaknya yang
pertama bertanya, “Kenapa ya kok perjalanan pulang terasa lebih cepat?”
“Ayo coba jawab ko, padahal kan jaraknya sama! Kalau gak percaya tanya
aja Om Kris yang guru fisika!” sahut papanya. Beberapa kali dia mencoba
memberikan jawaban, tetapi papanya terus mendorongnya untuk mencari jawaban
yang lebih tepat. Setelah dia merasa tidak lagi temukan jawabannya, maka
papanya berkata, “Itu karena hati kita bahagia, makanya menjadi terasa
cepat!” Dari getaran suaranya, daku bisa merasakan betapa rindunya dia
pada istri dan anak-anaknya.
Ya tepat, hati yang bahagia dapat membuat
waktu yang lama menjadi terasa lebih cepat. Albert Einsten pernah
berkata, “ketika kita berada di dekat orang yang kita kasihi, maka waktu yang
panjang menjadi terasa terlalu singkat; tetapi ketika kita berada jauh dari
orang yang kita kasihi, waktu yang pendek menjadi terasa terlalu lama; itulah
yang disebut relativitas waktu!” Seberapa dalam rindunya kita pada seseorang,
menunjukkan seberapa besar kasihnya kita pada dia.
Di dalam Alkitab daku temukan beberapa
ungkapan rindu:
·
Ayub
mengetahui bahwa Allah rindu kepada buatan tangan-Nya (Ayb. 14:15). Apakah kita
juga rindu mendengar panggilan-Nya untuk pulang?
·
Yesus Kristus
menggambarkan kerinduan-Nya untuk mengumpulkan umat-Nya seperti induk ayam
mengumpulkan anak-anaknya di bawah sayapnya (Mat. 23:37; Luk. 13:34). Apakah
kita juga rindu bernaung di bawah sayap-Nya?
·
Yesus Kristus
pun sangat merindukan makan Paskah bersama muri-murid-Nya, sebelum Dia
menderita (Luk. 22:15). Setiap kali kita melakukan perjamuan kudus,
apakah kita juga ingat akan penderitaan-Nya dan sangat merindukan perjamuan
kekal di sorga bersama dengan Dia?
·
Pemazmur
menggambarkan kerinduan jiwanya akan Allah seperti rusa yang merindukan sungai
yang berair (Mzm. 42:2). Apakah jiwa kita juga rindu untuk berjumpa
dengan Dia setiap waktu?
·
Pemazmur juga
menyatakan kehancuran jiwanya karena rindu kepada pelataran-pelataran dan
hukum-hukum Tuhan setiap waktu (Mzm. 84:3; 119:20). Apakah jiwa kita juga
hancur karena rindu kepada kediaman dan firman Tuhan setiap waktu?
·
Paulus
menyatakan kerinduannya kepada jemaat yang dilayaninya, sekalipun jauh di mata
tetapi dekat di hati, dengan kasih mesra Kristus Yesus (Flp. 1:28; 1Tes.
2:17). Apakah hati kita juga rindu kepada orang-orang yang kita layani
dengan kasih mesra Kristus Yesus?
Seberapa besar kasih kita pada Tuhan Yesus Kristus
dapat terlihat dari seberapa dalam rindu kita akan kedatangan-Nya! (2Tim.
4:6-8; 2Kor. 5:2). Bahkan seluruh makhluk pun sangat rindu menantikan
saat anak-anak Allah dinyatakan (Rm. 8:19). Oleh sebab itu, mari kita
hadirkan syallom bagi siapa pun, di mana pun, dan kapan pun, karena itu bukti
nyata kerinduan kita pada datangnya Kerajaan Allah!
“Om Kris, ini ada es krim buat Om Kris dan
Om Hermanto ya. Terima kasih Om!” tangannya yang mungil mengulurkan dua
es krim yang dibungkus plastik. “Wah terima kasih adik-adikku, sampai
jumpa lagi ya!” kuterima pemberian mereka dan kulambaikan tanganku, mereka pun
melambaikan tangan dan memberiku senyuman yang tulus dan murni.
“Sebab yang sangat kurindukan dan kuharapkan ialah bahwa aku dalam segala hal tidak akan beroleh malu,
melainkan seperti sediakala, demikian pun sekarang, Kristus dengan nyata
dimuliakan di dalam tubuhku, baik oleh hidupku, maupun oleh matiku.” ~ Filipi
1:20
Ketika
dua hati dipenuhi kerinduan,
maka
perjumpaan menjadi penuh keindahan dan kebermaknaan!