Tuesday, July 2, 2013

Segala Sesuau adalah Sia-sia...



Tak terasa sudah 33 tahun daku hidup di dunia ini... pencarian akan makna hidup terus berlanjut... tetapi ternyata yang kudapat adalah kesia-siaan...
          Kulihat matahari terbit dan tenggelam... anak-anak kecil menangis dan tertawa... kendaraan berjalan lalu-lalang... manusia mengerjakan tugas dan liburan... ada kelahiran dan kematian... tampaknya sangat menjemukan... ya rutinitas yang sangat menjemukan dan sia-sia... gak heran jika Pengkhotbah berkata bahwa “segala sesuatu menjemukan, sehingga tak terkatakan oleh manusia; mata tidak kenyang melihat, telinga tidak puas mendengar” (1:8).
          Daku kira rasa jenuh itu hanya dialami oleh orang-orang yang miskin, bodoh, dan tidak produktif saja, karena mereka seakan hidupnya gak banyak hiburan, variasi, dan perjuangan dalam rutinitasnya... tetapi ternyata Pengkhotbah yang kaya raya, penuh hikmat, dan melakukan pekerjaan-pekerjaan yang besar pun merasakan kejenuhan.  Bahkan Pengkhotbah yang telah membulatkan hati untuk memeriksa dan menyelidiki dengan hikmat segala yang terjadi di bawah langit (1:13), untuk memahami hikmat dan pengetahuan, kebodohan dan kebebalan (1:17), dan ia pun memuaskan segala keinginan mata dan hatinya tanpa kehilangan hikmatnya, tetapi yang didapati hanyalah kesia-siaan...
          Benarkah hidup ini tak bermakna dan hanyalah kesia-siaan saja?... lahir, makan, minum, tidur, bangun, belajar, bekerja, pelayanan, liburan, sakit, sehat, tertawa, menangis, berjuang, berhasil, gagal, jatuh cinta, menikah, berkeluarga, tua, lemah, dan akhirnya mati... manusia mencari kepuasan dalam hidup... prestasi, pencapaian, kesuksesan, gelar, pengakuan... tetapi ternyata yang didapai hanyalah kesia-siaan...
          Di dalam kejenuhan hidup, daku teringat akan bahan ujian komprehensif Alkitab... Mazmur 127:1-2 “Jikalau bukan Tuhan yang membangun rumah, sia-sialah usaha orang yang membangunnya; jikalau bukan Tuhan yang mengawal kota, sia-sialah pengawal berjaga-jaga.  Sia-sialah kamu bangun pagi-pagi dan duduk-duduk sampai jauh malam, dan makan roti yang diperoleh dengan susah payah – sebab Ia memberikannya kepada yang dicintai-Nya pada waktu tidur.”
          Segala sesuatu adalah sia-sia... jika tidak ada Tuhan!!!
          Jika kita percaya bahwa hanya Tuhan saja yang menjadikan segala sesuatu dalam hidup ini dapat bermakna, lalu yang menjadi pertanyaannya: Apakah kita sudah melibatkan Tuhan dan menjadikan Dia sebagai Tuan atas segala sesuatu dalam kehidupan kita?  Apakah kita juga yakin bahwa segala sesuatu dalam kehidupan kita berkenan dan memuliakan Tuhan?
          Pengkhotbah berkata: “Setiap orang yang dikaruniai Allah kekayaan dan harta benda dan kuasa untuk menikmatinya, untuk menerima bahagiannya, dan untuk bersukacita dalam jerih payahnya – juga itu pun karunia Allah... Ada suatu kemalangan yang telah kulihat di bawah matahari, yang sangat menekan manusia: orang yang dikaruniai Allah kekayaan, harta benda dan kemuliaan, sehingga ia tak kekurangan suatu pun yang diingininya, tetapi orang itu tidak dikaruniai kuasa oleh Allah untuk menikmatinya, melainkan orang lain yang menikmatinya!  Inilah kesia-siaan dan penderitaan yang pahit” (5:18; 6:1-2).  Jadi jelas bukan tentang seberapa banyak harta benda, kekayaan, dan kemuliaan yang kita miliki, tetapi yang menjadi masalah utamanya adalah apakah kita mempunyai kuasa untuk menikmati segala pemberian Allah?  Tanda utama jika kuasa untuk menikmati itu ada di dalam diri kita adalah kita mampu mengucap syukur kepada Allah di dalam segala hal (1Tes. 5:18).
          Oleh sebab itu, Pengkhotbah berkata: “Segala sesuatu yang dijumpai tanganmu untuk dikerjakan, kerjakanlah itu sekuat tenaga”(9:10).  Paulus juga mengingatkan: “Jika engkau makan atau jika engkau minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah” (1Kor. 10:31) dan “Apapun yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia” (Kol. 3:23).
Dengan menyadari bahwa Tuhan-lah yang menjadikan segala sesuatu dapat bermakna, maka kita bisa tetap tenang menghadapi segala hal dan mampu berbagi dengan sesama.  Pengkhotbah berkata: “Segenggam ketenangan lebih baik dari pada dua genggam jerih payah dan usaha menjaring angin... Berdua lebih baik dari pada seorang diri” (4:6, 9).  Bahkan di dalam misteri kehidupan pun, kita masih bisa tetap berharap kepada-Nya karena kita percaya bahwa: “Dia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka.  Tetapi manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan Allah dari awal sampai akhir” (Pkh. 3:11).
“Akhir kata dari segala yang didengar ialah: takutlah akan Allah dan berpeganglah pada perintah-perintah-Nya,karena itu adalah kewajiban setiap orang.  Karena Allah akan membawa setiap perbuatan ke pengadilan yang berlaku atas segala sesuatu yang tersembunyi, entah itu baik, entah itu jahat” (Pkh. 12:13-14).
Hanya ditangan-Nya saja debu hina menjadi kehidupan yang berharga!

0 comments:

Post a Comment