Tak terasa sudah 33
tahun daku hidup di dunia ini... pencarian akan makna hidup terus berlanjut...
tetapi ternyata yang kudapat adalah kesia-siaan...
Kulihat matahari terbit dan tenggelam...
anak-anak kecil menangis dan tertawa... kendaraan berjalan lalu-lalang...
manusia mengerjakan tugas dan liburan... ada kelahiran dan kematian...
tampaknya sangat menjemukan... ya rutinitas yang sangat menjemukan dan
sia-sia... gak heran jika Pengkhotbah berkata bahwa “segala sesuatu menjemukan,
sehingga tak terkatakan oleh manusia; mata tidak kenyang melihat, telinga tidak
puas mendengar” (1:8).
Daku kira rasa jenuh itu hanya dialami oleh
orang-orang yang miskin, bodoh, dan tidak produktif saja, karena mereka seakan
hidupnya gak banyak hiburan, variasi, dan perjuangan dalam rutinitasnya...
tetapi ternyata Pengkhotbah yang kaya raya, penuh hikmat, dan melakukan
pekerjaan-pekerjaan yang besar pun merasakan kejenuhan. Bahkan Pengkhotbah
yang telah membulatkan hati untuk memeriksa dan menyelidiki dengan hikmat
segala yang terjadi di bawah langit (1:13), untuk memahami hikmat dan
pengetahuan, kebodohan dan kebebalan (1:17), dan ia pun memuaskan segala
keinginan mata dan hatinya tanpa kehilangan hikmatnya, tetapi yang didapati
hanyalah kesia-siaan...
Benarkah hidup ini tak bermakna dan
hanyalah kesia-siaan saja?... lahir, makan, minum, tidur, bangun, belajar,
bekerja, pelayanan, liburan, sakit, sehat, tertawa, menangis, berjuang,
berhasil, gagal, jatuh cinta, menikah, berkeluarga, tua, lemah, dan akhirnya
mati... manusia mencari kepuasan dalam hidup... prestasi, pencapaian,
kesuksesan, gelar, pengakuan... tetapi ternyata yang didapai hanyalah
kesia-siaan...
Di dalam kejenuhan hidup, daku teringat
akan bahan ujian komprehensif Alkitab... Mazmur 127:1-2 “Jikalau bukan Tuhan
yang membangun rumah, sia-sialah usaha orang yang membangunnya; jikalau bukan
Tuhan yang mengawal kota, sia-sialah pengawal berjaga-jaga. Sia-sialah
kamu bangun pagi-pagi dan duduk-duduk sampai jauh malam, dan makan roti yang
diperoleh dengan susah payah – sebab Ia memberikannya kepada yang dicintai-Nya
pada waktu tidur.”
Segala
sesuatu adalah sia-sia... jika tidak ada Tuhan!!!
Jika kita percaya bahwa hanya Tuhan saja yang
menjadikan segala sesuatu dalam hidup ini dapat bermakna, lalu yang menjadi
pertanyaannya: Apakah
kita sudah melibatkan Tuhan dan menjadikan Dia sebagai Tuan atas segala sesuatu
dalam kehidupan kita? Apakah kita juga yakin bahwa segala sesuatu dalam
kehidupan kita berkenan dan memuliakan Tuhan?
Pengkhotbah berkata: “Setiap orang yang dikaruniai Allah
kekayaan dan harta benda dan kuasa
untuk menikmatinya, untuk menerima bahagiannya, dan untuk
bersukacita dalam jerih payahnya – juga itu pun karunia Allah... Ada suatu
kemalangan yang telah kulihat di bawah matahari, yang sangat menekan manusia:
orang yang dikaruniai Allah kekayaan, harta benda dan kemuliaan, sehingga ia
tak kekurangan suatu pun yang diingininya, tetapi orang itu tidak dikaruniai kuasa oleh
Allah untuk menikmatinya, melainkan orang lain yang
menikmatinya! Inilah kesia-siaan dan penderitaan yang pahit” (5:18; 6:1-2).
Jadi jelas bukan tentang seberapa banyak harta benda, kekayaan, dan kemuliaan
yang kita miliki, tetapi yang menjadi masalah utamanya adalah apakah kita
mempunyai kuasa untuk menikmati segala pemberian Allah? Tanda utama jika
kuasa untuk menikmati itu ada di dalam diri kita adalah kita mampu mengucap
syukur kepada Allah di dalam segala hal (1Tes. 5:18).
Oleh sebab itu, Pengkhotbah berkata:
“Segala sesuatu yang dijumpai tanganmu untuk dikerjakan, kerjakanlah itu sekuat
tenaga”(9:10). Paulus juga mengingatkan: “Jika engkau makan atau jika
engkau minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya
itu untuk kemuliaan Allah” (1Kor. 10:31) dan “Apapun yang kamu perbuat,
perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia”
(Kol. 3:23).
Dengan
menyadari bahwa Tuhan-lah yang menjadikan segala sesuatu dapat bermakna, maka
kita bisa tetap tenang menghadapi segala hal dan mampu berbagi dengan
sesama. Pengkhotbah berkata: “Segenggam ketenangan lebih baik dari pada
dua genggam jerih payah dan usaha menjaring angin... Berdua lebih baik dari
pada seorang diri” (4:6, 9). Bahkan di dalam misteri kehidupan pun, kita
masih bisa tetap berharap kepada-Nya karena kita percaya bahwa: “Dia membuat
segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati
mereka. Tetapi manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan
Allah dari awal sampai akhir” (Pkh. 3:11).
“Akhir
kata dari segala yang didengar ialah: takutlah akan Allah dan berpeganglah pada
perintah-perintah-Nya,karena itu adalah kewajiban setiap orang. Karena
Allah akan membawa setiap perbuatan ke pengadilan yang berlaku atas segala
sesuatu yang tersembunyi, entah itu baik, entah itu jahat” (Pkh. 12:13-14).
Hanya ditangan-Nya saja debu
hina menjadi kehidupan yang berharga!
0 comments:
Post a Comment