Dari semula tubuh manusia dirancang sedemikian rupa
sehingga memiliki sensasi-sensasi kenikmatan. Ketika manusia melihat
keindahan alam, mata merasakan kenikmatan. Ketika manusia mencium
wangi-wangian, hidung merasakan kenikmatan. Ketika manusia mengecap
makanan yang enak, lidah merasakan kenikmatan. Ketika manusia mendengar
suara yang merdu, telinga merasakan kenikmatan. Demikian juga jiwa
manusia, dari sejak semula telah dirancang sedemikian rupa sehingga memiliki
sensasi kenikmatan. Ketika manusia menjadi kaya raya, jiwa merasakan
kenikmatan. Ketika manusia menduduki jabatan tertinggi, jiwa merasakan
kenikmatan. Ketika manusia mencapai apa yang diharapkannya, jiwa
merasakan kenikmatan.
Pada dasarnya manusia tidak rela tubuh dan jiwanya kehilangan sensasi-sensasi
kenikmatan tersebut. Jika kenikmatan itu tertunda, maka tubuh dan jiwa
manusia akan merasakan kelaparan dan kehausan. Bahkan jika kenikmatan itu
hilang dan lenyap, maka dapat dipastikan tubuh dan jiwa manusia akan merasakan
penderitaaan yang sangat dalam. Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan
jika demi kenikmatan tubuh dan jiwa tetap dapat dirasakan selalu, manusia
berusaha dengan menghalalkan segala cara. Demi kenikmatan lidah, manusia
menjadi rakus. Demi kenikmatan seks, manusia berzinah. Demi
kenikmatan jiwa, manusia melakukan korupsi, memakai narkoba, dan bahkan
membunuh.
Puncak dari segala kenikmatan itu disebut kepuasan. Dorongan untuk
berusaha mencapai kepuasan itu disebut hasrat. Komitmen untuk berusaha
mencapai kepuasan itu disebut tekat.
Tidak ada manusia yang dapat menandingi usaha mengejar kenikmatan dan kepuasan tubuh
dan jiwanya selain daripada Pengkhotbah. Lihatlah hasrat dan tekatnya
untuk mencapai kepuasan:
- Aku membulatkan hatiku untuk memeriksa dan menyelidiki dengan hikmat segala yang terjadi di bawah langit (1:3)
- Aku telah memperbesar dan menambah hikmat lebih dari pada semua orang yang memerintah atas Yerusalem sebelum aku (1:16)
- Aku telah membulatkan hati untuk memahami hikmat dan pengetahuan, kebodohan dan kebebalan (1:17)
- Aku melakukan pekerjaan-pekerjaan besar (2:4)
- Aku membeli budak-budak dan mempunyai banyak ternak melebihi siapapun yang pernah hidup di Yerusalem sebelum aku (2:7)
- Aku mengumpulkan bagiku juga perak dan emas; serta banyak gundik (2:8)
- Aku menjadi besar, bahkan lebih besar dari pada siapa pun yang pernah hidup di Yerusalem sebelum aku (2:9)
- Aku tidak merintangi mataku dari apa pun yang dikehendakinya, dan aku tidak menahan hatiku dari sukacita apa pun (2:9)
Lalu apa kesimpulan Pengkhotbah?
Ketika Pengkhotbah ingin menyampaikan hasil dari segala usahanya tersebut,
semua mata manusia menatapnya, semua mulut manusia tertutup, dan semua tubuh
manusia terdiam, menanti-nantikan jawaban dari Pengkhotbah. Keheningan
dan kesunyian memenuhi seluruh bumi. Akhirnya Pengkhotbah pun berdiri dan
membuka suaranya: “Kesia-siaan belaka, kata Pengkhotbah, kesia-siaan belaka,
segala sesuatu adalah sia-sia!” (1:2). Betapa terkejutnya seluruh
manusia mendengar kesimpulan Pengkhotbah tersebut: Bagaimana mungkin segala
sesuatu adalah sia-sia? Mengapa segala sesuatu adalah sia-sia?
Sebagian manusia menangis dan meratap karena duka yang mendalam memenuhi tubuh
dan jiwanya. Tetapi sebagian manusia marah dan murka karena menolak
kesimpulan Pengkhotbah.
Memang benar bahwa dari semula tubuh dan jiwa manusia dirancang oleh Allah
sedemikian rupa sehingga dapat merasakan sensasi-sensasi kenikmatan.
Tetapi bukan demi kenikmatan itu sendiri tujuan Allah menciptakan
manusia. Ada 3 realita yang harus disadari, diakui dan diterima oleh
manusia:
- Keterbatasan tubuh untuk merasakan kenikmatan.
- Ketidakterbatasan jiwa untuk merasakan kenikmatan.
- Keberdosaan manusia yang merusak kenikmatan.
Realita kehidupan yang tidak akan pernah bisa ditolak oleh manusia adalah
kemampuan tubuh untuk merasakan kenikmatan semakin lama semakin
berkurang. Mata semakin buta untuk menikmati alam yang indah.
Telinga semakin tuli untuk menikmati suara yang merdu. Lidah semakin
hambar untuk menikmati makanan yang enak. Kemampuan tubuh untuk merasakan
kenikmatan memang terbatas, tetapi jiwa tidak. Benar apa yang dikatakan
oleh Blaise Pascal, seorang fisikawan dan theolog: “Di dalam hati dan
jiwa manusia terdapat lubang yang sangat lebar dan dalam, yang tidak akan
pernah mampu dipenuhi/dipuaskan oleh apapun juga, selain dari kasih Allah!”
Sekalipun manusia memunyai begitu banyak harta, begitu besar kuasa, dan begitu
tinggi pengetahuan, tetapi jiwanya tidak akan pernah dapat dipuaskan oleh itu
semua. Kesia-siaan menjadi jelas,
tegas, dan pasti dialami oleh manusia karena keberdosaannya. Dosa telah
merubah arah dan merusak nilai kenikmatan manusia, sehingga segala sesuatu
pasti menjadi sia-sia.
Jika demikian, apakah manusia tidak
mungkin dapat merasakan kepuasan sejati? Bagi manusia itu mustahil,
tetapi bagi Allah tidak!
Manusia yang pernah mengalami kepuasan sejati adalah Adam dan Hawa.
Sebelum jatuh ke dalam dosa, ada keharmonisan relasi mereka dengan Allah, diri,
sesama, dan alam yang membuat mereka dapat merasakan sensasi-sensasi kenikmatan
tubuh dan jiwa yang sungguh luar biasa. Tetapi setelah jatuh ke dalam
dosa, maka mereka tidak akan pernah dapat merasakan kepuasan yang sejati.
Hanya melalui kematian dan kebangkitan Kristus yang memberikan harapan dan
jaminan pasti, maka manusia dapat kembali merasakan kepuasan yang sejati.
Pengkhotbah juga memberikan catatan sangat jelas dan tegas bahwa tanpa Allah
yang memberikan karunia kuasa kepada seseorang untuk menikmati segala kekayaan
dan kemuliaan, maka itu semua adalah kesia-siaan dan penderitaan yang pahit
(5:18-6:2). Bahkan Pemazmur pun berseru: “Engkau memberitahukan kepadaku
jalan kehidupan; di hadapan-Mu ada sukacita berlimpah-limpah, di tangan
kanan-Mu ada nikmat senantiasa” (16:11).
Ketika jiwa manusia dipuaskan oleh Allah, itu bukan berarti menghilangkan
atau mematikan kenikmatan diri, tetapi memunculkan dan membuahkan pengendalian
diri. Sebab kenikmatan diri yang tidak terkendali adalah candu yang
sia-sia. Itulah sebabnya John Piper berkata: “Untuk dapat
sungguh-sungguh menikmati segala sesuatu, dibutuhkan pengendalian diri.”
Tanda utama jiwa manusia yang telah dipuaskan oleh Allah adalah ia pasti
menjadi berkat bagi sesamanya. Karena kasih Allah yang memenuhi jiwa
manusia itu melimpah dan meluap keluar, maka sesamanya pasti juga turut
merasakannya. Dengan demikian, semakin banyak orang memuliakan Allah yang
telah memuaskan jika kita. Itulah yang dimaksud John Piper: “Allah
paling dimuliakan di dalam kita saat kita paling terpuaskan di dalam Dia.”
Memang benar bahwa: Segala sesuatu adalah sia-sia, jika tanpa Allah!
Bersama Allah, maka segala sesuatu menjadi penuh makna!
0 comments:
Post a Comment