Ketika
ada banyak hal yang terjadi di dalam hidup kita ternyata diluar rencana,
kendali, dan kuasa kita, apa yang biasanya kita alami? Kita merasa cemas,
gelisah, takut, kuatir, dan mungkin juga marah; entah itu kepada diri sendiri
karena kita merasa tidak mampu, atau kepada orang lain karena kita merasa itu
akibat kesalahan mereka, atau bahkan kepada Tuhan karena kita merasa Dia tidak
berkuasa dan tidak peduli dengan kita. Mungkin kita berseru kepada
Tuhan: Bukankah sebelum, ketika, dan setelah membuat rencana tersebut aku
sudah berdoa kepada Engkau? Tetapi kenapa Engkau sepertinya diam saja dan
membiarkan hal ini terjadi? Bukankah Engkau Allah Yang Mahakuasa?
Ataukah jangan-jangan ini terjadi diluar pengetahuan-MU? Mungkinkah Engkau
tidak menyertai aku lagi? Bukankah aku sudah berdoa: Jadilah kehendak-Mu
dan memohon berkat-Mu? Tetapi kenapa yang terjadi justru yang seperti
ini? Bukankah rancangan-Mu bukan rancangan kecelakaan?
Bukankah
Allah yang berkata kepada Abraham: “Pergilah dari negerimu dan dari sanak
saudaramu dan dari rumah bapamu ini ke negeri yang akan Kutunjukkan kepadamu”?
(Kej. 12:1). Tetapi kenapa begitu keluar dari Ur-Kasdim dan tinggal di
Mesir sebagai orang asing ia harus bergumul mengorbankan istrinya? Kenapa
ia harus berpisah dengan Lot dan berperang demi keselamatan anak saudaranya
itu? Bukankah Allah juga yang berkata kepada Abraham: “Coba lihat ke
langit, hitunglah bintang-bintang jika engkau dapat menghitungnya.
Demikianlah banyaknya nanti keturunanmu” (Kej. 15:5). Tetapi kenapa ia
baru mendapatkan seorang anak yang dijanjikan-Nya ketika umurnya sudah
tua? Kenapa ia harus bergumul mengorbankan anaknya Ishak? Kenapa ia
harus mengusir anaknya Ismael? Bukankah Allah yang memberi mimpi-mimpi
itu kepada Yusuf? Tetapi kenapa ia justru dibenci dan dijual oleh
saudara-saudaranya? Bukankah ia menjaga kekudusan hidupnya? Tetapi
kenapa ia justru dimasukkan ke penjara?
Bukankah
Allah yang berkata kepada Musa: “Jadi sekarang, pergilah, Aku mengutus engkau
kepada Firaun untuk membawa umat-Ku, orang Israel, keluar dari Mesir” ? (Kel.
3:10). Tetapi kenapa ia mengalami banyak tantangan dan ancaman, bukan
hanya dari orang Mesir tetapi juga dari orang Israel sendiri? Bukankah
Allah juga yang berkata kepada Samuel: “Bangkitlah, urapilah dia, sebab inilah
dia” dan sejak hari itu Roh Tuhan berkuasa atas Daud? (1Sam. 16:12).
Tetapi kenapa Daud mengalami hinaan dan ancaman pembunuhan sehingga ia harus
hidup di dalam pelariannya? Bukankah Allah yang berkata kepada Iblis:
“Tidak ada seorang pun di bumi seperti dia, yang demikian saleh dan jujur, yang
takut akan Tuhan dan menjauhi kejahatan”? (Ayb. 1:8). Tetapi kenapa Ayub
mengalami penderitaan yang tidak pernah dialami oleh seorang pun: segala
hartanya musnah, semua anaknya mati, seluruh tubuhnya busuk karena barah,
istrinya menjadi rekan Iblis, sahabat-sahabatnya menekan dan menuduhnya?
Bukankah
Allah yang memilih dan memanggil Yesaya, Yeremia, dan Yehezkiel untuk menjadi
nabi-Nya dan memberitakan Firman Tuhan? Tetapi kenapa umat-Nya tetap
tidak mendengarkan pemberitaan mereka? Bahkan mereka mengalami banyak
penderitaan? Bukankah Allah yang memilih Hosea menjadi nabi? Tetapi
kenapa Dia justru memerintahkan Hosea untuk mengawini Gomer, seorang perempuan
sundal? Bukankah Allah yang memilih Yunus sebagai nabi? Tetapi
kenapa Dia justru memerintahkan Yunus untuk pergi ke Niniwe, bangsa kafir yang
sangat kejam? Bukankah Allah mengasihi umat-Nya? Tetapi kenapa Dia
justru membangkitkan orang Kasdim, bangsa yang garang dan tangkas itu, untuk
menghukum umat-Nya?
Bukankah
Allah melalui malaikat-Nya berkata kepada Maria: “Jangan takut, hai Maria,
sebab engkau beroleh kasih karunia di hadapan Allah”? (Luk. 1:30). Tetapi
kenapa ia mengalami pergumulan dengan Yusuf, tunangannya? Bukankah mereka
berdua mempunyai rencana pernikahan yang sangat indah dan untuk hidup
berkeluarga yang wajar seperti halnya pasangan yang lain? Setelah Maria
berkata: “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut
perkataanmu itu” (Luk. 1: 38) dan Yusuf mengambil Maria sebagai isterinya,
tetapi kenapa mereka harus mengalami perjalanan dari Nazaret ke Betlehem dalam
kondisi Maria sedang hamil tua? Kenapa mereka tidak menemukan tempat untuk
menginap dan melahirkan Anak yang dikandung Roh Kudus itu, sehingga Anak itu
harus dilahirkan di dalam kandang? Bahkan mengapa mereka juga harus
terpaksa pergi ke Mesir karena ancaman dari Herodes?
Bukankah
Yesus Kristus yang berkuasa di sorga dan di bumi yang memerintahkan kepada para
murid-Nya: “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah
mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan
segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai
kami senantiasa sampai kepada akhir zaman”? (Mat. 28:19-20). Tetapi
kenapa para murid-Nya justru mengalami penghinaan, penolakan, penganiayaan,
penderitaan, dan bahkan pembunuhan?
Bagi kita yang sudah membaca akhir kisah
dari perjalanan para tokoh Alkitab di atas mungkin akan berkata: “Oh tenang
saja, Tuhan kita adalah Allah yang berdaulat, yang mampu mereka-rekakan yang
jahat dan buruk untuk menjadikan kebaikan bagi kita (Kej. 50:20).
Bukankah Ia turut bekerja untuk mendatangkan kebaikan bagi kita (Rm.
8:28)? Jadi, tetaplah percaya dan bersandarlah sepenuhnya pada
Allah. Nantikanlah pertolongan-Nya yang selalu tepat pada
waktu-Nya. Asal kita tetap bertahan!” Wah, kata-kata yang sungguh
menguatkan dan menghiburkan hati. Tetapi bagaimana kita bisa tetap
bertahan dalam menanti penggenapan kehendak-Nya bagi hidup kita? Mungkin
kita akan berkata: “Yah berdoa dan baca firman Tuhan lah, maka dari situlah
akan datang kekuatan untuk bertahan.” Bagaimana bisa tetap berdoa jika
seakan-akan Allah tidak menjawabnya? Bagaimana bisa tetap membaca firman
Tuhan jika yang terjadi dan dialami seakan-akan berbeda dengan gambaran
idealnya? Oh, kita seringkali pandai dalam memberi petunjuk-petunjuk
rohani, tetapi ketika kita mengalami pergumulan-pergumulan itu sendiri, kita
juga pasti memberikan reaksi yang sama dengan mereka.
Satu hal yang penting kita sadari bahwa
reaksi cemas, gelisah, takut, kuatir, dan mungkin juga marah,ketika mengalami
pergumulan-pergumulan tersebut adalah wajar dan manusiawi. Bukankah para
tokoh Alkitab itu juga memberikan reaksi yang demikian? Mengapa reaksi
itu wajar dan manusiawi? Masih ingatkah kita akan kisah Adam dan
Hawa? Mereka jatuh ke dalam dosa karena mereka ingin menjadi seperti
Allah, yang berkuasa, berdaulat, dan mengendalikan segala sesuatu. Mereka lebih merasa aman,
nyaman, dan damai jika merekalah yang mengatur hidup mereka sendiri.
Tetapi ternyata keamanan, kenyamanan, dan kedamaian yang mereka dapatkan itu
adalah palsu dan fana. Kecenderungan untuk mengendalikan
segala sesuatu yang terjadi di dalam hidup ini dimiliki oleh setip
manusia. Itulah sebabnya mereka takut jika yang terjadi ternyata diluar
kendali mereka.
Yesus Kristus memberikan teladan yang luar
biasa, ketika di dalam pergumulan terbesar-Nya, yaitu terpisah dengan Bapa
karena menanggung dosa manusia, Dia berkata: “Jadilah kehendak-Mu!” Ini
artinya Dia mempercayakan segala sesuatu yang terjadi di dalam hidup-Nya kepada
Allah Yang Mahakuasa dan Mahaberdaulat, yang mengendalikan segala
sesuatu. Sekalipun Dia berkuasa untuk mengambil nyawa-Nya kembali, tetapi
Dia tetap mempercayakan kebangkitan-Nya kepada Allah. Bagaimana dengan
kita ketika berdoa: “Jadilah kehendak-Mu”? Apakah kita menyadari bahwa
itu berarti kita menyerahkan kendali dan kuasa penentu hidup kita kepada
Allah? Bukankah memang yang terjadi sesungguhnya Allah-lah yang berkuasa
atas seluruh kehidupan ini? Lalu kenapa jika yang terjadi itu ternyata di
luar rencana kita, kita menjadi protes dan kecewa kepada Allah? Itu
menunjukkan bahwa sebenarnya kita belum sepenuhnya mempercayakan hidup kita
kepada-Nya.
Percayakah
kita bahwa ketika kita hidup di dalam kebenaran firman-Nya, maka segala sesuatu
yang terjadi di dalam hidup kita ini adalah bagaian daripada rencana-Nya yang
mulia di dalam hidup kita? Dia
Allah yang mudah disenangkan, tetapi sangat sulit untuk dipuaskan. Dia
tidak akan pernah menyerah sebelum rencana-Nya di dalam hidup kita itu menjadi
sempurna. Jika kita percaya akan kebenaran
berita ini, maka kita akan dapat memberikan respon yang tepat di dalam segala
pergumulan. Kita
akan belajar untuk menyelaraskan diri dengan kehendak Allah, sekalipun yang
terjadi itu diluar rencana, kendali, dan kuasa kita.
Itulah yang saya maksud dengan seni
fleksibilitas hidup. Dengan seni fleksibilitas ini, maka kita dapat menemukan dan
menikmati keindahan, kepuasan, dan kebermaknaan dari dinamika kehidupan. Kita dimampukan untuk
mengucap syukur dalam segala keadaan dan melihat kemuliaan Allah, di dalam
segala misteri dan paradoks-Nya. Seni flekibilitas hidup hanya dimiliki oleh
orang yang berhati lembut, berjiwa lentur, dan berakal-budi luhur, tanpa
kehilangan identitas dan integritas diri sebagai murid Kristus.
Mengapa
orang percaya mengalami stress berat ketika rencananya gagal?
Jangan-jangan rencananya itu untuk kemuliaan dirinya sendiri! Mengapa
orang percaya kecewa dengan pasangannya, lalu bercerai? Jangan-jangan
karena cinta dan harapannya tidak realistis! Mengapa orang percaya kecewa
dengan Allah? Jangan-jangan dia mempunyai gambaran yang salah tentang
siapakah Allah yang sesungguhnya! Seni
fleksibilitas hidup memampukan kita untuk mengubah kekecewaan menjadi keintiman
yang lebih dalam, sehingga kita mengalami kebahagiaan, keamanan, dan kedamaian
yang sejati.
Ketika
segala harta bendanya musnah dan semua anaknya mati, Ayub berkata: “Tuhan yang
memberi, Tuhan yang mengambil, terpujilah nama Tuhan!” (Ayb. 1:21)
Alkitab mencatat: “Dalam kesemuanya itu Ayub tidak berbuat dosa dan tidak menuduh
Allah berbuat yang kurang patut” (Ayb. 1:22). Ketika seluruh tubuhnya
sakit barah yang busuk dari telapak kakinya sampai ke batu kepalanya, bahkan
isterinya membujuknya, seperti Hawa membujuk Adam, Ayub berkata: “Apakah kita
mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk?” (Ayb.
2:10). Alkitab mencatat: “Dalam kesemuanya ini Ayub tidak berbuat dosa
dengan bibirnya” (Ayb. 2:10). Di dalam pergumulannya dengan Allah, Ayub
akhirnya menjawab: “Aku tahu, bahwa Engkau sanggup melakukan segala sesuatu,
dan tidak ada rencana-Mu yang gagal. Hanya dari kata orang saja aku
mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau”
(Ayb. 42:2, 6). Alkitab mencatat keadaan Ayub dipulihkan.
Seni
fleksibilitas hidup akhirnya memampukan kita berkata:
“O, alangkah dalamnya kekayaan, hikmat dan pengetahuan Allah! Sungguh tak
terselidiki keputusan-keputusan-Nya dan sungguh tak terselami
jalan-jalan-Nya! Sebab, siapakah yang mengetahui pikiran Tuhan?
Atau siapakah yang pernah menjadi penasihat-Nya atau siapakah yang pernah
memberikan sesuatu kepada-Nya, sehingga Ia harus menggantinya? Sebab
segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah
kemuliaan sampai selama-lamanya!” (Rm. 11:33-36).
Proses menyelaraskan diri
dengan Allah, diri, sesama, dan alam adalah
seni flkesibilitas dalam
dinamika kehidupan