Manusia
diciptakan dari debu tanah (Kej. 2:7). Debu adalah materi yang dianggap
tidak berharga dan tidak berguna. Tetapi manusia diciptakan menurut
gambar dan rupa Allah (Kej. 1:26-27). Dua fakta ini menunjukkan bahwa
manusia diciptakan dari yang
hina menjadi yang mulia.
Di taman Eden, iblis mencobai manusia dengan berkata: “Sekali-kali kamu tidak
mati, tetapi Allah mengetahui, bahwa pada waktu kamu memakannya matamu akan
terbuka, dan kamu akan menjadi
seperti Allah, tahu tentang yang baik dan yang jahat” (Kej.
3:4).
Bukankah Firman Tuhan menyatakan bahwa manusia sudah segambar dan serupa dengan
Allah? Kebingungan
manusia untuk memilih yang mana, disebabkan dari keraguan manusia akan
kepastian kebenaran Firman Tuhan. Kesalahan manusia dalam
menentukan pilihan, disebabkan dari ketidakpercayaan manusia akan kepastian
kebenaran Firman Tuhan. Akhirnya manusia memilih untuk
berkata: “Bukanlah kehendak-Mu, melainkan kehendakkulah yang terjadi!”
Akibat dari pilihan manusia itu, maka: mereka mati; mata mereka terbuka dan
tahu bahwa mereka telanjang; gambar dan rupa Allah rusak. Ketika
kemuliaan manusia telah hilang (Rm. 3:23), maka yang tinggal hanyalah
kehinaannya. Sejak saat itu, manusia di segala tempat dan zaman, berseru
dan berusaha untuk mendapatkan kemuliaannya yang telah rusak itu. Kain di
dalam pelariannya dari depan Tuhan berusaha “mendirikan suatu kota” (Kej.
4:17). Manusia mendirikan sebuah kota dengan sebuah menara untuk “cari
nama” (Kej. 11:4). Kota adalah simbol kekayaan, keamanan, kekuasaan, dan
kemuliaan.
Tetapi Firman Tuhan berkata: “Jikalau bukan Tuhan yang membangun rumah,
sia-sialah usaha orang yang membangunnya; jikalau bukan Tuhan yang mengawal
kota, sia-sialah pengawal berjaga-jaga” (Mzm. 127:1).
Musa memilih Tuhan sebagai kota bentengnya (Mzm. 94:22), sehingga ia rela
meninggalkan kemuliaan dunia yang palsu, dan “lebih suka menderita dengan umat
Allah” (Ibr. 11:24-26). Daud memilih Tuhan sebagai kota bentengnya (Mzm.
62:3), sehingga sekalipun ia raja Israel yang mulia, tetapi tidak menaruh
kemuliaannya pada harTa, tahTa, dan waniTa, melainkan kepada Tuhan Sang
PencipTa.
Terlebih dari semuanya, ada Pribadi yang unik, yang sungguh-sungguh pernah
hadir di tengah-tengah kita, yaitu Yesus Kristus. Dia adalah Allah sejati
dan manusia sejati. Dia adalah Anak Tunggal Bapa, yang Terkasih,
Terpilih, dan Termulia. Tetapi Dia “yang walaupun dalam rupa Allah (mulia), tidak
menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan,
melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba
(hina),
dan menjadi sama dengan manusia” (Flp. 2:6-7). Sekalipun Dia Raja Yang
Mahamulia, tetapi lahir di kandang yang hina, hidup sangat dihina, mati di
dalam kehinaan. Yang
Termulia menjadi yang terhina.
Di
padang gurun, iblis mencobai Yesus Kristus dengan berkata: “Jika Engkau Anak Allah
maka...” (Mat. 4:3). Bukankah Firman Tuhan menyatakan bahwa Dia memang
Anak Allah? Yesus Kristus tidak meragukan kebenaran Firman Tuhan.
Dia percaya secara penuh akan kebenaran Firman Tuhan. Dia mengetahui
status-Nya sebagai Anak Allah, sehingga Dia mengalahkan pencobaan iblis
tersebut. Sampai pada akhirnya, di taman Getsemani, Yesus Kristus memilih
untuk berkata: ”Bukanlah kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi”
(Luk. 42).
Yesus
Kristus bukan hanya mengajarkan paradoks kepada murid-murid-Nya: ”pemimpin
sebagai pelayan” (Luk. 22:26), tetapi Dia juga menghidupinya. Setelah Yesus
Kristus berkata: ”Telah tiba saatnya Anak Manusia dimuliakan... Bapa,
muliakanlah nama-Mu!” dan terdengar suara dari sorga: ”Aku telah
memuliakan-Nya, dan Aku akan memuliakan-Nya lagi!” (Yoh. 12:23-29); Dia justru
bangun, menanggalkan jubah-Nya, mengambil sehelai kain lenan, mengikatnya pada
pinggang-Nya, menuangkan air ke dalam sebuah basi, membasuh kaki
murid-murid-Nya, menyekanya dengan kain yang terikat pada pinggang-Nya itu,
mengenakan pakaian-Nya, kembali ke tempat-Nya, lalu berkata kepada mereka:
”Mengertikah kamu apa yang telah Kuperbuat kepadamu?” (Yoh. 13:14-12). Yang termulia melakukan
pekerjaan yang terhina.
Puncak
kehidupan Yesus Kristus, yaitu di atas kayu salib, Raja Yang Mahamulia itu
justru menerima hinaan dari orang Yahudi dan orang non-Yahudi, dari pejabat dan
penjahat. Berbagai tuduhan dan fitnahan ditujukan kepada-Nya, wajah-Nya
ditampar dan diludahi, pungguh-Nya dicampuki, kepala-Nya dihiasi mahkota duri,
tangan dan kaki-Nya dipakukan pada kayu salib, pakaian-Nya dibagi-bagi dengan
membuang undi, perkataan olok-olokan, ejekan dan hujatan dilontarkan
pada-Nya. Tetapi justru Dia berdoa: ”Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab
mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” (Luk. 23:34).
Penghinaan adalah sesuatu (pikiran, perkataan, dan perbuatan) yang tidak
pantas, tidak layak, dan tidak semestinya ditujukan pada yang mulia.
Negara mempunyai simbol dan pribadi yang dianggap mulia, seperti: bendera, lagu
kebangsaan, presiden, dsb. Untuk menjaga kewibawaan dan kehormatannya, maka
orang yang melakukan penghinaan terhadapnya akan mendapatkan hukuman yang
berat. Itulah yang dialami oleh orang yang melemparkan sepatunya dan
mencaci-maki presiden Amerika. Bukankah terlebih lagi seharusnya manusia
menerima hukuman yang jauh lebih berat karena telah melakukan penghinaan pada
Raja Yang Mahamulia?
Yesus Kristus memberikan respon yang baik, benar, dan tepat, karena Dia tidak
memerlukan kesaksian dari manusia (Yoh. 5:34). Kemuliaan-Nya di mata Bapa
tetap, sekalipun manusia menghina-Nya. Jika Dia yang sungguh-sungguh
mulia menerima segala penghinaan dengan kasih, lalu mengapa manusia yang
sungguh-sungguh hina justru penuh dengan kebencian ketika dihina? Kehormatan, keagungan, dan
kemuliaan seseorang terlihat jelas dari responnya, bukan ketika dia menerima
pujian, tetapi ketika dia menerima hinaan.
Akhirnya, ”Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di
atas segala nama, supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di
langit dan yang ada di atas bumi dan yang di bawah bumi, dan segala lidah
mengaku: ”Yesus Kristus adalah Tuhan” bagi kemuliaan Allah, Bapa!” (Flp.
2:9-11).
Jalan salib adalah
jalan satu-satunya, yang penuh dengan kehinaan, kesengsaraan, dan kematian,
yang menuju pada kemuliaan, keselamatan, dan kehidupan!... Hanya dengan
menyangkal diri, memikul salib, dan mengikut Dia, maka kita bisa menikmati
keindahan dan keagungan paradoks jalan salib tersebut!