Tuesday, February 25, 2014

“Hina dan Mulia Jalan Salib: Sebuah Paradoks!”

Manusia diciptakan dari debu tanah (Kej. 2:7).  Debu adalah materi yang dianggap tidak berharga dan tidak berguna.  Tetapi manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (Kej. 1:26-27).  Dua fakta ini menunjukkan bahwa manusia diciptakan dari yang hina menjadi yang mulia.
            Di taman Eden, iblis mencobai manusia dengan berkata: “Sekali-kali kamu tidak mati, tetapi Allah mengetahui, bahwa pada waktu kamu memakannya matamu akan terbuka, dan kamu akan menjadi seperti Allah, tahu tentang yang baik dan yang jahat” (Kej. 3:4).
            Bukankah Firman Tuhan menyatakan bahwa manusia sudah segambar dan serupa dengan Allah?  Kebingungan manusia untuk memilih yang mana, disebabkan dari keraguan manusia akan kepastian kebenaran Firman TuhanKesalahan manusia dalam menentukan pilihan, disebabkan dari ketidakpercayaan manusia akan kepastian kebenaran Firman Tuhan.  Akhirnya manusia memilih untuk berkata: “Bukanlah kehendak-Mu, melainkan kehendakkulah yang terjadi!”
            Akibat dari pilihan manusia itu, maka: mereka mati; mata mereka terbuka dan tahu bahwa mereka telanjang; gambar dan rupa Allah rusak.  Ketika kemuliaan manusia telah hilang (Rm. 3:23), maka yang tinggal hanyalah kehinaannya.  Sejak saat itu, manusia di segala tempat dan zaman, berseru dan berusaha untuk mendapatkan kemuliaannya yang telah rusak itu.  Kain di dalam pelariannya dari depan Tuhan berusaha “mendirikan suatu kota” (Kej. 4:17).  Manusia mendirikan sebuah kota dengan sebuah menara untuk “cari nama” (Kej. 11:4).  Kota adalah simbol kekayaan, keamanan, kekuasaan, dan kemuliaan.
            Tetapi Firman Tuhan berkata: “Jikalau bukan Tuhan yang membangun rumah, sia-sialah usaha orang yang membangunnya; jikalau bukan Tuhan yang mengawal kota, sia-sialah pengawal berjaga-jaga” (Mzm. 127:1).
            Musa memilih Tuhan sebagai kota bentengnya (Mzm. 94:22), sehingga ia rela meninggalkan kemuliaan dunia yang palsu, dan “lebih suka menderita dengan umat Allah” (Ibr. 11:24-26).  Daud memilih Tuhan sebagai kota bentengnya (Mzm. 62:3), sehingga sekalipun ia raja Israel yang mulia, tetapi tidak menaruh kemuliaannya pada harTa, tahTa, dan waniTa, melainkan kepada Tuhan Sang PencipTa.
            Terlebih dari semuanya, ada Pribadi yang unik, yang sungguh-sungguh pernah hadir di tengah-tengah kita, yaitu Yesus Kristus.  Dia adalah Allah sejati dan manusia sejati.  Dia adalah Anak Tunggal Bapa, yang Terkasih, Terpilih, dan Termulia.  Tetapi Dia “yang walaupun dalam rupa Allah (mulia), tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba (hina), dan menjadi sama dengan manusia” (Flp. 2:6-7).  Sekalipun Dia Raja Yang Mahamulia, tetapi lahir di kandang yang hina, hidup sangat dihina, mati di dalam kehinaan.  Yang Termulia menjadi yang terhina.
Di padang gurun, iblis mencobai Yesus Kristus dengan berkata: “Jika Engkau Anak Allah maka...” (Mat. 4:3).  Bukankah Firman Tuhan menyatakan bahwa Dia memang Anak Allah?  Yesus Kristus tidak meragukan kebenaran Firman Tuhan.  Dia percaya secara penuh akan kebenaran Firman Tuhan.  Dia mengetahui status-Nya sebagai Anak Allah, sehingga Dia mengalahkan pencobaan iblis tersebut.  Sampai pada akhirnya, di taman Getsemani, Yesus Kristus memilih untuk berkata: ”Bukanlah kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi” (Luk. 42).
Yesus Kristus bukan hanya mengajarkan paradoks kepada murid-murid-Nya: ”pemimpin sebagai pelayan” (Luk. 22:26), tetapi Dia juga menghidupinya.  Setelah Yesus Kristus berkata: ”Telah tiba saatnya Anak Manusia dimuliakan... Bapa, muliakanlah nama-Mu!”  dan terdengar suara dari sorga: ”Aku telah memuliakan-Nya, dan Aku akan memuliakan-Nya lagi!” (Yoh. 12:23-29); Dia justru bangun, menanggalkan jubah-Nya, mengambil sehelai kain lenan, mengikatnya pada pinggang-Nya, menuangkan air ke dalam sebuah basi, membasuh kaki murid-murid-Nya, menyekanya dengan kain yang terikat pada pinggang-Nya itu, mengenakan pakaian-Nya, kembali ke tempat-Nya, lalu berkata kepada mereka: ”Mengertikah kamu apa yang telah Kuperbuat kepadamu?” (Yoh. 13:14-12).  Yang termulia melakukan pekerjaan yang terhina.
Puncak kehidupan Yesus Kristus, yaitu di atas kayu salib, Raja Yang Mahamulia itu justru menerima hinaan dari orang Yahudi dan orang non-Yahudi, dari pejabat dan penjahat.  Berbagai tuduhan dan fitnahan ditujukan kepada-Nya, wajah-Nya ditampar dan diludahi, pungguh-Nya dicampuki, kepala-Nya dihiasi mahkota duri, tangan dan kaki-Nya dipakukan pada kayu salib, pakaian-Nya dibagi-bagi dengan membuang undi, perkataan olok-olokan, ejekan dan hujatan dilontarkan pada-Nya.  Tetapi justru Dia berdoa: ”Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” (Luk. 23:34).  
            Penghinaan adalah sesuatu (pikiran, perkataan, dan perbuatan) yang tidak pantas, tidak layak, dan tidak semestinya ditujukan pada yang mulia.  Negara mempunyai simbol dan pribadi yang dianggap mulia, seperti: bendera, lagu kebangsaan, presiden, dsb.  Untuk menjaga kewibawaan dan kehormatannya, maka orang yang melakukan penghinaan terhadapnya akan mendapatkan hukuman yang berat.  Itulah yang dialami oleh orang yang melemparkan sepatunya dan mencaci-maki presiden Amerika.  Bukankah terlebih lagi seharusnya manusia menerima hukuman yang jauh lebih berat karena telah melakukan penghinaan pada Raja Yang Mahamulia?
            Yesus Kristus memberikan respon yang baik, benar, dan tepat, karena Dia tidak memerlukan kesaksian dari manusia (Yoh. 5:34).  Kemuliaan-Nya di mata Bapa tetap, sekalipun manusia menghina-Nya.  Jika Dia yang sungguh-sungguh mulia menerima segala penghinaan dengan kasih, lalu mengapa manusia yang sungguh-sungguh hina justru penuh dengan kebencian ketika dihina?  Kehormatan, keagungan, dan kemuliaan seseorang terlihat jelas dari responnya, bukan ketika dia menerima pujian, tetapi ketika dia menerima hinaan.
            Akhirnya, ”Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama, supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang di bawah bumi, dan segala lidah mengaku: ”Yesus Kristus adalah Tuhan” bagi kemuliaan Allah, Bapa!” (Flp. 2:9-11).
            Jalan salib adalah jalan satu-satunya, yang penuh dengan kehinaan, kesengsaraan, dan kematian, yang menuju pada kemuliaan, keselamatan, dan kehidupan!... Hanya dengan menyangkal diri, memikul salib, dan mengikut Dia, maka kita bisa menikmati keindahan dan keagungan paradoks jalan salib tersebut!