Friday, August 23, 2013

Seni Fleksibilitas dalam Dinamika Kehidupan



Ketika ada banyak hal yang terjadi di dalam hidup kita ternyata diluar rencana, kendali, dan kuasa kita, apa yang biasanya kita alami? Kita merasa cemas, gelisah, takut, kuatir, dan mungkin juga marah; entah itu kepada diri sendiri karena kita merasa tidak mampu, atau kepada orang lain karena kita merasa itu akibat kesalahan mereka, atau bahkan kepada Tuhan karena kita merasa Dia tidak berkuasa dan tidak peduli dengan kita.  Mungkin kita berseru kepada Tuhan:  Bukankah sebelum, ketika, dan setelah membuat rencana tersebut aku sudah berdoa kepada Engkau?  Tetapi kenapa Engkau sepertinya diam saja dan membiarkan hal ini terjadi?  Bukankah Engkau Allah Yang Mahakuasa?  Ataukah jangan-jangan ini terjadi diluar pengetahuan-MU?  Mungkinkah Engkau tidak menyertai aku lagi?  Bukankah aku sudah berdoa: Jadilah kehendak-Mu dan memohon berkat-Mu?  Tetapi kenapa yang terjadi justru yang seperti ini?  Bukankah rancangan-Mu bukan rancangan kecelakaan?
Bukankah Allah yang berkata kepada Abraham: “Pergilah dari negerimu dan dari sanak saudaramu dan dari rumah bapamu ini ke negeri yang akan Kutunjukkan kepadamu”? (Kej. 12:1).  Tetapi kenapa begitu keluar dari Ur-Kasdim dan tinggal di Mesir sebagai orang asing ia harus bergumul mengorbankan istrinya?  Kenapa ia harus berpisah dengan Lot dan berperang demi keselamatan anak saudaranya itu?  Bukankah Allah juga yang berkata kepada Abraham: “Coba lihat ke langit, hitunglah bintang-bintang jika engkau dapat menghitungnya.  Demikianlah banyaknya nanti keturunanmu” (Kej. 15:5).  Tetapi kenapa ia baru mendapatkan seorang anak yang dijanjikan-Nya ketika umurnya sudah tua?  Kenapa ia harus bergumul mengorbankan anaknya Ishak?  Kenapa ia harus mengusir anaknya Ismael?  Bukankah Allah yang memberi mimpi-mimpi itu kepada Yusuf?  Tetapi kenapa ia justru dibenci dan dijual oleh saudara-saudaranya?  Bukankah ia menjaga kekudusan hidupnya?  Tetapi kenapa ia justru dimasukkan ke penjara?
Bukankah Allah yang berkata kepada Musa: “Jadi sekarang, pergilah, Aku mengutus engkau kepada Firaun untuk membawa umat-Ku, orang Israel, keluar dari Mesir” ? (Kel. 3:10).  Tetapi kenapa ia mengalami banyak tantangan dan ancaman, bukan hanya dari orang Mesir tetapi juga dari orang Israel sendiri?  Bukankah Allah juga yang berkata kepada Samuel: “Bangkitlah, urapilah dia, sebab inilah dia” dan sejak hari itu Roh Tuhan berkuasa atas Daud? (1Sam. 16:12).  Tetapi kenapa Daud mengalami hinaan dan ancaman pembunuhan sehingga ia harus hidup di dalam pelariannya?  Bukankah Allah yang berkata kepada Iblis: “Tidak ada seorang pun di bumi seperti dia, yang demikian saleh dan jujur, yang takut akan Tuhan dan menjauhi kejahatan”? (Ayb. 1:8).  Tetapi kenapa Ayub mengalami penderitaan yang tidak pernah dialami oleh seorang pun: segala hartanya musnah, semua anaknya mati, seluruh tubuhnya busuk karena barah, istrinya  menjadi rekan Iblis, sahabat-sahabatnya menekan dan menuduhnya?
Bukankah Allah yang memilih dan memanggil Yesaya, Yeremia, dan Yehezkiel untuk menjadi nabi-Nya dan memberitakan Firman Tuhan?  Tetapi kenapa umat-Nya tetap tidak mendengarkan pemberitaan mereka?  Bahkan mereka mengalami banyak penderitaan?  Bukankah Allah yang memilih Hosea menjadi nabi?  Tetapi kenapa Dia justru memerintahkan Hosea untuk mengawini Gomer, seorang perempuan sundal?  Bukankah Allah yang memilih Yunus sebagai nabi?  Tetapi kenapa Dia justru memerintahkan Yunus untuk pergi ke Niniwe, bangsa kafir yang sangat kejam?  Bukankah Allah mengasihi umat-Nya?  Tetapi kenapa Dia justru membangkitkan orang Kasdim, bangsa yang garang dan tangkas itu, untuk menghukum umat-Nya?
Bukankah Allah melalui malaikat-Nya berkata kepada Maria: “Jangan takut, hai Maria, sebab engkau beroleh kasih karunia di hadapan Allah”? (Luk. 1:30).  Tetapi kenapa ia mengalami pergumulan dengan Yusuf, tunangannya?  Bukankah mereka berdua mempunyai rencana pernikahan yang sangat indah dan untuk hidup berkeluarga yang wajar seperti halnya pasangan yang lain?  Setelah Maria berkata: “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu” (Luk. 1: 38) dan Yusuf mengambil Maria sebagai isterinya, tetapi kenapa mereka harus mengalami perjalanan dari Nazaret ke Betlehem dalam kondisi Maria sedang hamil tua?  Kenapa mereka tidak menemukan tempat untuk menginap dan melahirkan Anak yang dikandung Roh Kudus itu, sehingga Anak itu harus dilahirkan di dalam kandang?  Bahkan mengapa mereka juga harus terpaksa pergi ke Mesir karena ancaman dari Herodes? 
Bukankah Yesus Kristus yang berkuasa di sorga dan di bumi yang memerintahkan kepada para murid-Nya: “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu.  Dan ketahuilah, Aku menyertai kami senantiasa sampai kepada akhir zaman”? (Mat. 28:19-20).  Tetapi kenapa para murid-Nya justru mengalami penghinaan, penolakan, penganiayaan, penderitaan, dan bahkan pembunuhan?
          Bagi kita yang sudah membaca akhir kisah dari perjalanan para tokoh Alkitab di atas mungkin akan berkata: “Oh tenang saja, Tuhan kita adalah Allah yang berdaulat, yang mampu mereka-rekakan yang jahat dan buruk untuk menjadikan kebaikan bagi kita (Kej. 50:20).  Bukankah Ia turut bekerja untuk mendatangkan kebaikan bagi kita (Rm. 8:28)?  Jadi, tetaplah percaya dan bersandarlah sepenuhnya pada Allah.  Nantikanlah pertolongan-Nya yang selalu tepat pada waktu-Nya.  Asal kita tetap bertahan!”  Wah, kata-kata yang sungguh menguatkan dan menghiburkan hati.  Tetapi bagaimana kita bisa tetap bertahan dalam menanti penggenapan kehendak-Nya bagi hidup kita?  Mungkin kita akan berkata: “Yah berdoa dan baca firman Tuhan lah, maka dari situlah akan datang kekuatan untuk bertahan.”  Bagaimana bisa tetap berdoa jika seakan-akan Allah tidak menjawabnya?  Bagaimana bisa tetap membaca firman Tuhan jika yang terjadi dan dialami seakan-akan berbeda dengan gambaran idealnya?  Oh, kita seringkali pandai dalam memberi petunjuk-petunjuk rohani, tetapi ketika kita mengalami pergumulan-pergumulan itu sendiri, kita juga pasti memberikan reaksi yang sama dengan mereka.
          Satu hal yang penting kita sadari bahwa reaksi cemas, gelisah, takut, kuatir, dan mungkin juga marah,ketika mengalami pergumulan-pergumulan tersebut adalah wajar dan manusiawi.  Bukankah para tokoh Alkitab itu juga memberikan reaksi yang demikian?  Mengapa reaksi itu wajar dan manusiawi?  Masih ingatkah kita akan kisah Adam dan Hawa?  Mereka jatuh ke dalam dosa karena mereka ingin menjadi seperti Allah, yang berkuasa, berdaulat, dan mengendalikan segala sesuatu.  Mereka lebih merasa aman, nyaman, dan damai jika merekalah yang mengatur hidup mereka sendiri.  Tetapi ternyata keamanan, kenyamanan, dan kedamaian yang mereka dapatkan itu adalah palsu dan fana.  Kecenderungan untuk mengendalikan segala sesuatu yang terjadi di dalam hidup ini dimiliki oleh setip manusia.  Itulah sebabnya mereka takut jika yang terjadi ternyata diluar kendali mereka.
          Yesus Kristus memberikan teladan yang luar biasa, ketika di dalam pergumulan terbesar-Nya, yaitu terpisah dengan Bapa karena menanggung dosa manusia, Dia berkata: “Jadilah kehendak-Mu!”  Ini artinya Dia mempercayakan segala sesuatu yang terjadi di dalam hidup-Nya kepada Allah Yang Mahakuasa dan Mahaberdaulat, yang mengendalikan segala sesuatu.  Sekalipun Dia berkuasa untuk mengambil nyawa-Nya kembali, tetapi Dia tetap mempercayakan kebangkitan-Nya kepada Allah.  Bagaimana dengan kita ketika berdoa: “Jadilah kehendak-Mu”?  Apakah kita menyadari bahwa itu berarti kita menyerahkan kendali dan kuasa penentu hidup kita kepada Allah?  Bukankah memang yang terjadi sesungguhnya Allah-lah yang berkuasa atas seluruh kehidupan ini?  Lalu kenapa jika yang terjadi itu ternyata di luar rencana kita, kita menjadi protes dan kecewa kepada Allah?  Itu menunjukkan bahwa sebenarnya kita belum sepenuhnya mempercayakan hidup kita kepada-Nya. 
Percayakah kita bahwa ketika kita hidup di dalam kebenaran firman-Nya, maka segala sesuatu yang terjadi di dalam hidup kita ini adalah bagaian daripada rencana-Nya yang mulia di dalam hidup kita?  Dia Allah yang mudah disenangkan, tetapi sangat sulit untuk dipuaskan.  Dia tidak akan pernah menyerah sebelum rencana-Nya di dalam hidup kita itu menjadi sempurna.  Jika kita percaya akan kebenaran berita ini, maka kita akan dapat memberikan respon yang tepat di dalam segala pergumulan.  Kita akan belajar untuk menyelaraskan diri dengan kehendak Allah, sekalipun yang terjadi itu diluar rencana, kendali, dan kuasa kita.  Itulah yang saya maksud dengan seni fleksibilitas hidup.  Dengan seni fleksibilitas ini, maka kita dapat menemukan dan menikmati keindahan, kepuasan, dan kebermaknaan dari dinamika kehidupan.  Kita dimampukan untuk mengucap syukur dalam segala keadaan dan melihat kemuliaan Allah, di dalam segala misteri dan paradoks-Nya.  Seni flekibilitas hidup hanya dimiliki oleh orang yang berhati lembut, berjiwa lentur, dan berakal-budi luhur, tanpa kehilangan identitas dan integritas diri sebagai murid Kristus.
Mengapa orang percaya mengalami stress berat ketika rencananya gagal?  Jangan-jangan rencananya itu untuk kemuliaan dirinya sendiri!  Mengapa orang percaya kecewa dengan pasangannya, lalu bercerai?  Jangan-jangan karena cinta dan harapannya tidak realistis!  Mengapa orang percaya kecewa dengan Allah?  Jangan-jangan dia mempunyai gambaran yang salah tentang siapakah Allah yang sesungguhnya!  Seni fleksibilitas hidup memampukan kita untuk mengubah kekecewaan menjadi keintiman yang lebih dalam, sehingga kita mengalami kebahagiaan, keamanan, dan kedamaian yang sejati.
Ketika segala harta bendanya musnah dan semua anaknya mati, Ayub berkata: “Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil, terpujilah nama Tuhan!”  (Ayb. 1:21)  Alkitab mencatat: “Dalam kesemuanya itu Ayub tidak berbuat dosa dan tidak menuduh Allah berbuat yang kurang patut” (Ayb. 1:22).  Ketika seluruh tubuhnya sakit barah yang busuk dari telapak kakinya sampai ke batu kepalanya, bahkan isterinya membujuknya, seperti Hawa membujuk Adam, Ayub berkata: “Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk?” (Ayb. 2:10).  Alkitab mencatat: “Dalam kesemuanya ini Ayub tidak berbuat dosa dengan bibirnya” (Ayb. 2:10).  Di dalam pergumulannya dengan Allah, Ayub akhirnya menjawab: “Aku tahu, bahwa Engkau sanggup melakukan segala sesuatu, dan tidak ada rencana-Mu yang gagal.  Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau” (Ayb. 42:2, 6).  Alkitab mencatat keadaan Ayub dipulihkan.
Seni fleksibilitas hidup akhirnya memampukan kita berkata: “O, alangkah dalamnya kekayaan, hikmat dan pengetahuan Allah!  Sungguh tak terselidiki keputusan-keputusan-Nya dan sungguh tak terselami jalan-jalan-Nya!  Sebab, siapakah yang mengetahui pikiran Tuhan?  Atau siapakah yang pernah menjadi penasihat-Nya  atau siapakah yang pernah memberikan sesuatu kepada-Nya, sehingga Ia harus menggantinya?  Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!” (Rm. 11:33-36).
Proses menyelaraskan diri dengan Allah, diri, sesama, dan alam adalah
seni flkesibilitas dalam dinamika kehidupan

Wednesday, August 14, 2013

Dasar Mental Pengemis



Pengemis: "Dahulu keluargaku sangat kaya raya, bahkan hartanya bisa untuk 7 turunan!"
Daku: "Lalu kenapa sekarang jadi miskin?"
Pengemis: "Karena saya adalah keturunan ke 8!"
Daku: @#$%^&*!

Pengemis: "Saya mempunyai 3 anak, satu di UI Jakarta, satu di UGM Yogyakarta, satu di ITS Surabaya!"
Daku: "Wah hebat ya, walaupun miskin tetapi anak-anaknya bisa kuliah di universitas-universitas terkenal di Indonesia!"
Pengemis: "Anak-anak saya gak kuliah kok, tetapi mereka di sana juga mengemis seperti saya!"
Daku: @#$%^&*!

Pengemis: "Setelah saya pikir-pikir seharusnya orang Kristen bersyukur lho karena ada kami!"
Daku: "Kenapa bisa begicu?"
Pengemis: "Kan ada firman berkata bahwa lebih baik memberi daripada menerima. Jadi, dengan kehadiran kami maka orang Kristen dapat mempraktekkan firman itu!"
Daku: @#$%^&*!

Sunday, August 4, 2013

Kebinekaan: IndAH atau MasalAH?



Kumelangkah menyelusuri lorong menuju tempat mencuci dengan membawa seember penuh kain kotor.  Sekilas mataku memandang seorang teman dari negeri China karena pintu kamarnya terbuka lebar.  Kuhentikan langkahku untuk menatapnya dengan senyuman dan dia pun tersenyum serta memanggil namaku… “Mas Kris!”  Kuletakkan ember itu di depan pintu, lalu kumasuk ke kamarnya.  “Ni sedang membaca apa?” tanyaku.  Dengan tersenyum dia tunjukkan buku yang sedang ada di tangannya.  “Wah, ni sedang belajar bahasa Indonesia ya?  Good!” seruku.  Sesaat kami bercakap-cakap dengan bahasa Indonesia.  Tetapi karena dia masih belajar maka beberapa kalimat dalam percakapan itu kami ganti dengan bahasa Inggris.  Yah sekalipun bahasa Inggris kami belepotan.  Tak lama kemudian, daku ijin kepadanya untuk undur diri karena harus mencuci beberapa pakaian kotor.
          Ketika mencuci, daku teringat akan tindakanku yang bodoh.  Di waktu kerja bakti pagi, daku dan seorang teman China berdiskusi tanpa tema yang jelas, karena daku memakai bahasa Jawa sementara dia memakai bahasa Mandarin.  Spontan teman-teman dari Indonesia dan China yang melihat kami langsung tertawa.  Apakah itu indah atau masalah?  Bagiku itu adalah keindahan.  Kenapa?  Sekalipun kami tidak saling mengerti apa yang dibicarakan karena perbedaan bahasa, tetapi lihatlah hasilnya, teman-teman Indonesia dan China akhirnya dapat mempunyai bahasa yang sama, yaitu tertawa.  Seringkali tidak kita sadari bahwa tertawa, tersenyum, tangisan adalah bahasa komunikasi yang universal.  Hatiku semakin bersukacita ketika ingat beberapa teman China juga mau daku ajarin bahasa Jawa.  Bahkan lewat Oprah Van SAAT yang dipentaskan untuk menyambut mahasiswa baru 2010 di wisma YWI Batu dan Camp Pemuda SAAT 2010, mahasiswa dari Indonesia dan China menunjukkan kerjasama yang begitu indah sehingga semuanya puas.  Daku sangat merindukan kebersamaan itu.  Jadi kebhinekaan, keberagaman, dan keberbedaan itu indah atau masalah?
          Tetapi hatiku tiba-tiba merasa sangat sedih karena ingatanku membawa kepada apa yang terjadi pada Mei 1998.  Di Solo terjadi kerusuhan yang mengerikan, banyak rumah dan toko dibakar dan dijarah oleh beberapa kelompok massa, sementara itu aparat keamanan seakan-akan diam dan tak berusaha untuk menghentikan aksi kejahatan yang sungguh bejat itu.  Korban utama dari kerusuhan tersebut adalah saudara sebangsaku yang masih mempunyai ikatan darah keturunan China.  Mereka ada yang dibunuh, diperkosa, dan disiksa, sehingga meninggalkan trauma yang sangat mendalam.  Kenapa khusus mereka yang jadi korban?  Apa salah mereka?  Siapa dan apa motivasi otak kerusuhan tersebut?  Tetapi sampai sekarang kasus kerusuhan Mei 1998 seakan-akan menguap begitu saja.  Keadilan dan kebenaran tidak ditegakkan, undang-undang menjadi mandul, aparat penegak hukum masa bodoh, otak dan pelaku kerusuhan hidup bebas, tetapi sementara itu para korban masih terluka dan terpenjara jiwanya.  Apakah ini sudah biasa terjadi di negeriku tercinta ini, sehingga kejahatan kemanusiaan yang sedemikian besar dapat menguap begitu saja?
          Daku juga diingatkan akan beberapa peristiwa, antara lain: kerusuhan antara suku Dayak dan suku Madura di Kalimantan, usaha pembinasaan suku bangsa Yahudi oleh Nazi Jerman, pertentangan antara orang Yahudi dan orang Samaria atau juga dengan orang gentile.  Daku bertanya: “Apakah dari zaman ke zaman selalu kebhinekaan, keberagaman, dan keberbedaan pasti menjadi masalah?  Mengapa suku satu memandang rendah suku yang lain, yang berkulit putih memandang rendah yang berkulit hitam, yang kaya memandang rendah yang miskin, yang mendapat nilai bagus memandang rendah yang bernilai kurang, boss memandang rendah buruh,  tuan memandang rendah hamba, yang sehat memandang rendah yang cacat?  Bukankah kita adalah sama-sama manusia ciptaan Allah, sama-sama butuh oksigen dan air, sama-sama mendapat sinar matahari dan hujan, sama-sama tinggal di satu bumi, sama-sama mempunyai darah berwarna merah?”  Yah mungkin ini pertanyaan yang terlalu naïf dari seorang anak muda yang belum makan asam garam kehidupan.
          Sejenak daku ingat akan apa yang tertulis di Alkitab sebagai Firman Tuhan dan sumber kebenaran hidup.  Pada Lukas 10:29 ada pertanyaan: “Dan siapakah sesamaku manusia?”  Pertanyaan ini muncul dari motivasi seorang ahli Taurat yang ingin membenarkan dirinya di hadapan Yesus Kristus.  Sekalipun Yesus Kristus tahu motivasi seorang ahli Taurat tersebut, tetapi Dia dengan sabar memberikan jawaban melalui kisah seorang Samaria yang murah hati.  Kisah tersebut sangat bertentangan dengan budaya pada waktu itu, dimana orang Samaria yang dipandang rendah orang orang Yahudi justru melakukan apa yang berkenan di hati Tuhan, tetapi seorang imam dan seorang Lewi justru tidak menunjukkan belas kasihan.  Daku yakin semua orang percaya tahu akan kisah ini, tetapi seberapa jauh kita melakukannya?  Bukankah kisah ini ditutup dengan perkataan Yesus Kristus: “Pergilah dan perbuatlah demikian!”? (Luk. 10:33).  Jadi jelas bahwa pertanyaan: “Siapakah sesamaku manusia?” adalah pertanyaan yang bodoh, yang muncul dari motivasi yang salah.  Pertanyaan yang seharusnya kita lontarkan pada diri kita sendiri dan harus kita jawab dengan jujur di hadapan Tuhan adalah: “Sudahkah aku menjadi sesama manusia bagi semua orang?”
          Kebhinekaan, keberagaman, dan keberbedaan adalah kenyataan yang tidak dapat ditolak.  Siapakah yang dapat memilih untuk dilahirkan dengan warna kulit apa dan di suku apa?  Apakah kita dapat memilih dilahirkan di keluarga yang kaya, pandai, dan sehat?  Tidak ada satu pun yang dapat memilihnya!  Lalu siapakah yang menciptakan, menetapkan, dan mengijinkan kebhinekaan itu?  Allah Sang Pencipta!  Jadi jelas bahwa ketika kita menolak dan membenci kebhinekaan, maka sesungguhnya kita menghina Allah.  Kebhinekaan itu pasti, tetapi sikap kita pada kebhinekaan itu adalah pilihan.  Pilihan yang tepat terhadap kebhinekaan akan membawa kita pada keindahnnya.  Pilihan yang salah terhadap kebhinekaan akan membawa kita pada masalah.
          Di dalam imajinasi, daku berdiri ditengah-tengah kebun mawar yang berwarna-warni.  Di sebelah kananku mawar biru, di sebelah kiriku mawar merah, di depanku mawar putih, dan di belakangku mawar hitam.  Karena namaku “Kusuma” yang berarti “bunga” maka daku dapat mendengar percakapan mereka tentang siapakah yang lebih indah.  Masing-masing membanggakan dirinya dan akhirnya terjadilah pertengkaran yang hebat.  Karena daku merasa keheninganku di tengah kebun mawar itu terganggu, maka dengan keras daku teriak: “Diam!”  Spontan semua bunga mawar itu diam.  Daku bertanya dengan suara yang tegas: “Adakah diantara kalian yang tidak mempunyai duri?”  Bunga-bunga mawar itu pun satu per satu tertunduk malu, karena mereka semua mempunyai duri yang dapat menyakiti tangan manusia yang mengagumi keindahan mereka.  Dengan lembut kuberkata kepada mereka: “Sekalipun semua mawar mempunyai duri, tetapi Allah Sang Pencipta tetap mengasihimu dan manusia tetap mengagumi keindahanmu.”  Akhirnya mereka kembali ceria dan bernyanyi bagi kemuliaan Allah.
          Negeri kita Indonesia kaya akan kebhinekaan, maka negeri kita indah jika kebhinekaan itu dapat menjadi tunggal ika, tetapi negeri kita masalah jika kebhinekaan itu terpecah.  Gereja yang mengetahui kebenaran Firman Tuhan tentang kebhinekaan seharusnyalah menjadi kesaksian hidup yang nyata di negeri kita tercinta ini.  Daku sangat bersyukur ada gereja yang berasal dari suku satu tetapi mau menerima orang-orang dari suku yang lain untuk menjadi jemaatnya, bahkan mau dilayani dan melayani suku yang lain.  Tetapi jika kita jujur, masih cukup banyak gereja yang bersikap menerima kebhinekaan.  Pada tataran pemikiran mungkin tidak ada masalah dengan kebhinekaan, tetapi pada tataran praktisnya teryata masih jauh dari harapan untuk menjadi sesama bagi orang lain.  Jika demikian bagaimana gereja dapat menjadi garam dan terang di negeri kita tercinta ini?
          Bukankah Firman Allah menegaskan: “Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus” (Gal. 3:28)?  Bukankah Firman Allah juga memberikan dorongan: “Dan berusahalah memelihara kesatuan Roh oleh ikatan damai sejahtera: satu tubuh, dan satu Roh, sebagaimana kamu dipanggil kepada satu pengharapan yang terkandung dalam panggilanmu, satu Tuhan, satu iman, satu baptisan, satu Allah dan Bapa dari semua, Allah yang diatas semua dan oleh semua dan di dalam semua” (Ef. 4:3-6)?  Bukankah Firman Allah menunjukkan: “Sebab Ia yang menguduskan dan mereka yang dikuduskan, mereka semua berasal dari Satu; itulah sebabnya Ia tidak malu menyebut mereka saudara” (Ibr. 2:11)?  Bukankah Firman Tuhan juga mengingatkan: “Tetapi aku mensihatkan kamu, saudara-saudara, demi nama Tuhan kita Yesus Kristus, supaya kamu seia sekata dan jangan ada perpecahan di antara kamu, tetapi sebaliknya supaya kamu erat bersatu dan bersehati sepikir” (1Kor. 1:10)? Dan bukankah Firman Allah menunjukkan: “Dan di atas semuanya itu: kenakanlah kasih, sebagai pengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan” (Ef. 3:14)?

Mata yang sehat adalah mata yang dapat melihat keindahan warna-warni kehidupan.
Telinga yang sehat adalah telinga yang dapat mendengar keindahan nada-nada kehidupan.
Lidah yang sehat adalah lidah yang dapat mengecap keindahan rasa-rasa kehidupan.
Jiwa yang sehat adalah jiwa yang dapat menikmati keindahan kebhinekaan kehidupan.
Hanya kasih Kristus-lah yang menyehatkan kehidupan dan mempersatukan kebhinekaan.

Biarlah kebhinekaan bukan hanya dipersatukan di sorga kelak, tetapi juga di bumi kini!!!